Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Palestina, Israel, Mh-17 dan Papua, Sebuah Renungan

25 Juli 2014   13:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:16 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siapa (itu) manusia? Siapa (itu) Allah? Siapa penguasa tertinggi atas hidup dan mati manusia? Jika manusia mengakui bahwa dirinya berasal dari Allah (sang-Ada, realitas tertinggi), mengapa manusia tega saling membunuh? Konflik Palestina dan Israel serta di Ukraina yang menyebabkan ditembaknya pesawat MH-17 milik Malaysia Airlines, memperlihatkan sikap sombong manusia yang mau menguasai sesamanya. Penguasaan batas wilayah negara dan perbedaan ideologi serta keyakinan (iman) menjadi sumber konflik yang menyebabkan korban manusia berjatuhan. Situasi demikian juga sedang terjadi di tanah Papua, klaim idelogi NKRI dan kedaulatan Papua, telah memakan ribuan jiwa manusia.

Ketika menyaksikan pembantaian umat manusia, sebagai makhluk sosial, kita pun turut merasakan duka itu. Sayangnya, ungkapan duka itu lagi-lagi lahir bukan pertama-tama karena yang menjadi korban adalah manusia, melainkan karena ‘sentimen’ suku, ras, budaya, iman dan agama yang dianut. Rasa simpati lahir karena kesamaan-kesamaan itu. Padahal, nilai pribadi dan hidup manusia melampaui sekat-sekat yang tercipta, yakni suku, ras, budaya, iman dan agama. Manusia itu universal. Manusia memiliki nilai hidup yang tidak dapat dibandingkan dengan apa pun. Martabat pribadi manusia sangat luhur dan mulia serta berada di atas segala-galanya. Patut dihormati tanpa syarat apa pun.

Kalau direfleksikan lebih dalam, kehadiran manusia di muka bumi ini merupakan anugerah sang Pencipta. Manusia diciptakan, hidup, tumbuh dan berkembang. Pada waktunya akan kembali ke rahim bumi, kembali ke sang empunya hidup. Harapannya, siklus ini berjalan normal. Tetapi, seringkali kesombongan manusia sendiri meredusir nilai hidup manusia yang mulia itu. Manusia menderita karena ulah sesamanya, yang merasa diri paling benar.

Saya merenung dan bertanya: ‘mengapa manusia pada abad ini, masih memiliki hati yang kejam untuk membunuh sesamanya?’ Bukankah semua manusia di muka bumi ini adalah saudara, karena berasal dari sumber yang sama, yakni sang Pencipta? Ada yang menyapa Penciptanya sebagai Allah, dewa, dan berbagai sebutan lainnya. Bahkan ada yang belum mengakui adanya realitas tertinggi itu, tetapi ada keyakinan yang sama bahwa keberadaan manusia dan alam semesta, terjadi karena Ada-yang meng-Ada-kannya. Kebenaran ini tak terbantahkan, tetapi ironinya, kesombongan manusia telah menghancurkannya. Manusia membunuh sesamanya, tanpa merasa beban.

Bicara tentang martabat manusia, pandangan kita terarah kepada Fransiskus Asisi, orang suci dari Italia, yang mengajarkan bahwa segala makhluk di muka bumi adalah saudara. Ia bahkan menyapa cacing dan debu sebagai saudara. Segala sesuatu dilihatnya sebagai saudara. Persaudaraan yang dihayatinya melampaui jurang pemisah yang tercipta karena struktur adat-istiadat dan budaya yang diciptakan manusia. Saling memiliki dan saling menerima sebagai saudara adalah kunci membangun persaudaraan. Manusia yang berbeda dari sisi adat-istiadat, budaya dan agama saling mengakui keberbedaan sebagai kekayaan akan menumbuhkan sikap solidaritas dan saling menolong di antara mereka. Itulah penghormatan martabat manusia.

Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina, Israel, MH-17 dan Papua hendaklah membuka mata hati kita untuk bersikap bijaksana dalam menyikapinya. Saling klaim wilayah tertentu, peperangan dan pemberontakan serta pengusiran yang dilakukan oleh kelompok satu terhadap yang lainnya karena perbedaan ideologi dan keyakinan mesti dihentikan. Setiap pribadi manusia berhak hidup damai dan sejahtera di atas tanahnya. Iman dan keyakinan adalah hak asasi setiap pribadi. Iman dan keyakinan yang dianut adalah anugerah, yang perlu dihormati. Hendaklah manusia menerima perbedaan dan hidup penuh harmonis di dalamnya. Ketika manusia saling melukai karena perbedaan-perbedaan itu, maka kehancuran martabat dan hidup manusiapun tidak terhindari. Manusia akan menderita. Padahal, manusia tidak pernah ditakdirkan hidup menderita.

Apa yang bisa dilakukan untuk menciptakan perdamaian? Perdamaian pertama-tema mesti lahir dalam diri setiap manusia. Manusia perlu berdamai dengan dirinya sendiri, sebelum membangun sikap damai dengan sesama dan alam semesta. Perdamaian adalah kunci berlangsungnya kehidupan manusia. Tanpa perdamaian hidup manusia terancam, gelisah, takut dan tentu saja tidak produktif. Untuk mencapai suasana damai diperlukan sikap saling menghormati dan saling menerima sebagai saudara. Bahwa manusia boleh memiliki banyak perbedaan, tetapi di dalam perbedaan itu, manusia memiliki sumber, asal dan tujuan yang sama, yakni sang Pencipta. Karena itu, manusia perlu menghormati perbedaan dan menerimanya sebagai kekayaan, bukan sebaliknya melihatnya sebagai ancaman.

Titik nadir kemanusiaan ini hendaklah membawa manusia kepada jalan tobat, berbalik kepada panggilannya yang otentik, yang menerima dan menghormati perbedaan, tanpa syarat. Memang tidak mudah untuk menerima perbedaan, tetapi perlu disadari bahwa salah satu keunikan manusia dan makhluk di muka bumi ini terletak pada keberbedaannya. Di sana sang Pencipta menorehkan wajah-Nya yang khas. Di sana ada makna yang perlu dihayati, direfleksikan dan diterapkan dalam hidup sehari-hari.

Semoga martabat manusia sebagai makhluk mulia dan berakal-budi dihormati dan dijunjung tinggi. Dan semoga konflik di Palestina, Israel dan Papua segera berakhir. Kita juga berdoa untuk semua penumpang pesawat MH-17 yang jatuh di Ukraina, semoga sang Pencipta memberikan istirahat kekal untuk mereka semua.

Abepura, 25 Juli 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun