Hari ini, Rabu, 27 Januari 2016, cuaca cerah menyelimuti kota Jayapura. Anak-anak muda, calon pemimpin agama di Papua yang sedang berkumpul di rumah retret Savelberg, Maranata, Waena kembali mengikuti kegiatan hari ketiga. Mereka belajar tentang keragaman dan perbedaan. Pukul 08.30 WIT acara diawali dengan doa yang dipimpin oleh Delila Felle. Sesudah itu, review oleh Zascary Luik dari STT GKI I. S. Kijne Abepura. Sesudah itu dilanjutkan dengan sharing pengalaman terkait film “invictus” yang ditonton oleh peserta. Para peserta mengatakan bahwa film yang berkisah tentang perjuangan Nelson Mandela melawan politik apartheid di Afrika Selatan tersebut memperlihatkan bahwa perjuangan perlu dilakukan tanpa kekerasan, harus bisa ikhlas memaafkan, ada harapan, senyum, persahabatan, menghormati perbedaan, takut akan Tuhan. Sesi pembukaan ini berlangsung selama lima belas menit. “Kalau kita bisa saling mencintai, mengapa harus saling membenci.” Itulah kata-kata Nelson Mandela yang memberi inspirasi bagi jutaan manusia di dunia ini untuk berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran tanpa kekerasan.
Pukul 08.47 WIT, Ibu Elga J. Sarapung memandu acara. Ia menjelaskan tiga narasumber yang akan menyampaikan materi yaitu Ismail Hasani, direktur riset Setara Institute menyajikan materi “Demografi Agama dan Implikasinya terhadap Kehidupan Beragama/Berkeyakinan. Narasumber berikutnya adalah Arie Sujito, Sosiolog UGM membawakan materi tentang “Problem dan Transformasi Hak-hak Warga Negara.” Selanjutnya, Bapa Theo van den Broek membawakan materi tentang “Keadaan Demografi Papua”.
Ketiga narasumber menyajikan materi secara menarik. Mas Ismail Hasani dalam makalahnya menjelaskan bahwa akar intoleransi dan konflik di Indonesia disebabkan oleh aspirasi ideologi intoleransi, ketidakadilan ekonomi-politik, politisasi agama/identitas, politik penyeragaman dan konstestasi organisasi keagamaan (tertentu) dan perebutan otoritas keagamaan. Situasi ini didukung dengan negara yang absen, kepemimpinan politik yang lemah, produk hukum diskriminatif dan masyarakat yang rentan. Untuk mengatasi keadaan ini diperlukan negara perlu hadir dan memenuhi janji perlindungan dan penegakan hukum. Segenap warga harus patuh pada konstitusi dan Pancasila. “Kita memiliki modal untuk membangun dan mengelola kemajemukan menjadi arena perdamaian,” ungkapnya.
Arie Sujito menjelaskan bahwa hak-hak sipil dan politik, terutama terkait dengan pengakuan dan jaminan kemajemukan sebagai bangsa dan segala praktik empiris masih menjadi masalah serius. Banyak kasus sengketa, konflik, atau bahkan kekerasan yang terkait dengan “identitas” atau entitas kultural yang melibatkan antar kelompok masyarakat; apakah itu urusan agama, etnik, afiliasi sosial budaya; baik sifatnya laten maupun manifest. Dalam perjalanan sejarahnya perselisihan itu dengan segala ukurannya telah mengoyak tatanan sosial, ikatan kultural, bahkan berdampak disintegrasi social. Sebagai bangsa, juga negara, fenomena dan rangkaian peristiwa tersebut rasa-rasanya melanggar konstitusi, karenanya menciderai warga negara secara nyata.
Sementara itu, Bapa Theo van den Broek dalam makalahnya menjelaskan tentang adanya ancaman terhadap eksistensi bangsa asli Papua. Orang Asli Papua menjadi ‘aborigines’ di Papua (bayangan masa depan). Pemerintah propinsi-propinsi di Papua kelihatan masa bodoh dan/atau takberdaya berhubungan dengan proses/masalah/ancaman ini (pemerintah regional). Sampai saat ini tidak ada ‘pembatasan penambahan migran’ demi perlindungan jumlah penduduk asli; malahan ada rencana mendatangkan migran lagi (pemerintah regional dan nasional). Ada yang bertanya: Apakah ‘proses minoritisasi’ adalah inti policy terencana oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan ‘masalah Papua’?
Bapa Theo mengharapkan Mahasiswa perguruan tinggi berbasis agama bisa menjadi ‘pengeras suara harmoni dan duta damai’ pada lembaga-lembaga kenegaraan, terutama dimana Hak-Hak dasar diinjak; komitmen mesti sangat kelihatan dan bergabungan antar agama; suatu solidaritas suci: membela martabat manusia siapa saja, agamanya mana saja. Selain itu, perlu mendorong supaya ditetapkan suatu kebijakan yang memungkinkan supaya di Papua sekurangnya 30% dari para penduduk tetap adalah orang asli Papua. Mulailah kampanye: “30% orang Papua asli adalah harga hidup” ungkapnya saat memaparkan materinya.
Pemaparan materi dari ketiga narasumber berakhir pada pukul 11.00 WIT. Peserta istirahat snack. Pada pukul 11.30 WIT, peserta kembali ke dalam kelompok dan mendiskusikan tiga pertanyaan terkait bahan yang disampaikan oleh para narasumber. 1) Isu apa yang menonjol dari masing-masing materi? 2) Apa relevansinya dengan usaha menuju Papua Tanah Damai? 3) Apa Anda harapan menuju Papua Tanah Damai? Pukul 13.40 WIT masing-masing ketua kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dan ditanggapi oleh para narasumber. Pukul 15.35 WIT presentasi dan diskusi berakhir.
Pukul 15.54 WIT, Pares Wenda dari Jaringan Damai Papua (JDP) memandu sesi “Dialog Damai” yang disampaikan oleh Pater Neles Tebay, Pr. Dalam makalahnya, Pater Neles menjelaskan bahwa dalam dialog, posisi peserta adalah sejajar. Peserta saling membuka diri/hati terhadap peserta/pihak lain yang hadir dalam dialog, saling membagikan /pikirannya/idenya, saling menerima pikiran/ide dari pihak lain dan saling menghargai dan menghormati satu sama lain sebagai sesama manusia. Dalam dialog, orang tidak saling mempersalahkan, menuding, dan menuduh satu sama lain. “Tidak ada dialog tanpa perjumpaan. Dialog dipakai untuk mencapai tujuan. Dialog bukan tujuan,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa saat ini tantangan besar mewujudkan dialog adalah masih adanya sikap kecurigaan. “Hancurkan dulu kecurigaan baru bangun dialog. Cara menghacurkan kecurigaan itu hanya melalui bertemu, bertemu dan bertemu,” tegasnya.
Pukul 18.01 WIT presentasi materi dan tanya-jawab dengan Pater Neles berakhir. Sesi ini akan dilanjutkan besok pagi dengan agenda presentasi kelompok dan tanggapan dari narasumber, Pater Neles Tebay, Pr. Peserta istirahat.
Pukul 19.45 WIT peserta berkumpul kembali di ruang pertemuan. Ibu Elga memberikan tiga pertanyaan kepada setiap kelompok untuk didiskusikan. 1) Isu apa yang menonjol dari dialog Papua Tanah Damai? 2) Apa upaya dari kampus-kampus untuk membangun Papua Tanah Damai. 3) Apa upaya dari agama-agama yang perlu didorong untuk mencapai Papua Tanah Damai?
Rangkaian lokakarya sepanjang hari ketiga ini diakhiri dengan evalusi, refleksi dan doa. Dalam evaluasi peserta mengingatkan soal ketepatan waktu, perlunya nametack peserta dan ice break untuk menghilangkan rasa jenuh. Pukul 20.30 WIT seluruh acara hari ini berakhir. Selanjutnya, seluruh peserta beristirahat.