Saat ini, Papua menjadi sorotan berbagai pihak. Minimnya kesejahteraan orang asli Papua, buruknya pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, perumahan, listrik dan air bersih, menjadikan Papua sebagai wilayah termiskin di Indonesia. Papua juga masih dililit masalah politik, pelanggaran hak asasi manusia serta eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Dalam situasi seperti ini, orang asli Papua dan penduduk Papua masih diperhadapkan pula dengan keanekaragaman agama, budaya, adat-istiadat dan suku yang seringkali menjadi jurang pemisah.
Pulau Papua dihuni oleh penduduk dari berbagai agama dan budaya. Keanekaragaman agama dan budaya, seyogianya merupakan anugerah sang Pencipta yang patut dipelihara dan dilestarikan. Suasana keakraban lintas agama dan budaya di Papua tampak berjalan harmonis. Di level pemerintah ada wadah, Forum Kerukunan Umat Beragama dan Forum Komunikasi Para Pemimpin Agama. Komunitas suku memiliki paguyubun. Bahkan di dalam keluarga-keluarga memiliki keanekaragaman agama dan budaya akibat perkawinan campur.
Agama dan budaya menjadi sumber inspirasi untuk merajut keberagaman manusia. Keduanya memiliki caranya sendiri merangkul manusia untuk saling menerima dan menghormati satu terhadap yang lain. Agama sebagai wadah persekutuan kaum beriman terhadap sang Pencipta mengajarkan umat manusia untuk saling menghormati. Misalnya, agama Islam memiliki ajaran yang indah: “rahmatan lil alamin”. Demikian halnya, kekristenan mengajarkan umat manusia untuk saling mengasihi tanpa syarat. Kesempurnaan kasih itu telah ditunjukkan oleh Yesus dalam peristiwa wafat-Nya di Kalvari. Budha dan Hindu serta aliran kepercayaan pun mengajarkan hal serupa kepada para penganutnya.
Budaya-budaya di melanesia, khususnya di Papua mengajarkan bahwa manusia harus menjalin suasana harmonis dengan sesama, leluhur, alam dan Pencipta supaya kelimpahan dan kepenuhan hidup bisa tercapai. Nilai hidup baik yang tidak bisa diabaikan yakni sikap saling membagi dengan sesama. Orang Papua tidak bisa hidup untuk dirinya sendiri. Mereka hidup bersama dalam komunitasnya dan saling berbagi. Demikian halnya, setiap pendatang yang berdiam di tanah Papua pun memiliki budaya yang mengajarkan nilai-nilai hidup baik, menghormati sesama dan bersedia membantu sesama, tanpa memandang latar belakang agama dan budaya. Budaya yang dimiliki menunjukkan bahwa martabat dan nilai hidup manusia berada di atas segala-galanya dan patut dihormati, tanpa syarat.
Ironinya, dewasa ini Papua dilanda krisis penghormatan terhadap martabat manusia. Papua juga mengalami krisis nilai-nilai hidup baik. Akibatnya orang asli Papua dan segenap penduduk Papua mengalami penderitaan tidak berkesudahan. Papua dilanda penyakit HIV/AIDS. Ribuan manusia terjangkit virus mematikan ini. Berbagai upaya pencegahan dilakukan, tetapi virus ini masih merebak dan mengancam jiwa manusia. Minuman keras masih beredar luas. Miras telah menyebabkan kematian beruntun dan menimbulkan kekacauan.
Pudarnya nilai-nilai agama dan budaya juga ditunjukkan dengan minimnya para guru dan tenaga medis untuk tinggal di kampung-kampung dan melayani masyarakat. Akibatnya, masyarakat di kampung tetap mengalami keterbelakangan. Anak-anak tidak bisa bersekolah dan segenap warga tidak bisa berobat tatkala sakit. Situasi ini menunjukkan bahwa ketika nilai-nilai hidup baik, yang diajarkan oleh agama dan budaya diabaikan, maka manusia menuai penderitaan. Kebodohan dan kematian tidak bisa dihilangkan, justru makin bertambah subur
Kurangnya penghayatan terhadap nilai-nilai hidup baik, yang termaktub dalam agama dan budaya, mengakibatkan proses pembangunan dan pelayanan publik di Papua berjalan kurang maksimal. Korupsi masih tumbuh subur di Papua. Ada kesenjangan mendalam antara para pejabat publik yang hidup mewah dengan orang Papua yang hidup miskin dan menderita. Paradoksal tampak jelas, tatkala agama dan budaya disandingkan dengan perilaku hidup para pejabat, yang menggunakan jabatan publik untuk kepentingan diri sendiri.
Untuk menata kembali Papua, yang sudah tercabik, dibutuhkan kerjasa sama segenap komponen masyarakat. Kerja sama lintas agama dan budaya dibutuhkan untuk mengatasi situasi hidup orang Papua yang masih menderita karena minimnya pelayanan pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain sebagainya. `Keanekaragaman agama dan budaya menjadi inspirasi untuk memulai gerakan bersama menata Papua menuju masyarakat multireligius dan multikultural yang mengedepan nilai-nilai hidup baik untuk kesejahteraan bersama.
Papua akan menjadi lebih baik, jika segenap komponen masyarakat bertekad hidup sesuai ajaran agama dan budayanya. Agama dan budaya telah mengajarkan setiap manusia untuk saling mengasihi tanpa pamrih dan syarat. Ketika manusia mengamalkannya, maka kepenuhan hidup akan diraih. Sebaliknya, jika manusia lebih mementingkan dirinya dan kelompok agama dan sukunya, maka penderitaan tidak akan berakhir.
Keanekaragaman agama dan budaya merupakan anugerah sang Pencipta. Manusia perlu memanfaatkan keanekaragaman itu untuk kesejahteraan hidup bersama. Papua bisa menjadi laboratorium keberagaman jika bisa memanfaatkan segala potensi yang ada untuk mendukung upaya penghormatan terhadap martabat manusia yang beranekaragaman. Semua ini, harus dimulai dari komunitas-komunitas masyarakat adat, komunitas-komunitas agama dan segenap lingkungan masyarakat. [Abepura, 25 Mei 2015; pukul 06.08 wit].