Pemimpin itu melayani. Pemimpin harus siap mengabdi untuk rakyat. Menjadi pemimpin, berarti siap menjadi milik rakyat. Seorang pemimpin tidak bisa menilai dirinya sendiri. Rakyat yang memberikan penilaian. Bahkan acap kali rakyat mengkritisi pemimpinnya dengan cara-cara yang keras, baik verbal maupun non-verbal.
Kritik, apa pun bentuknya memiliki nilai edukatif. Tergantung sejauh mana dimaknai. Sebagai pemimpin perlu terbuka terhadap berbagai kritikan. Jokowi berhasil menjadi presiden karena mampu mengelola kritik yang ditujukan kepadanya. Ironisnya, pada masa pemerintahannya ini, justru Jokowi mau menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Dalam RUU KUHP pasal 263 ayat 1 berbunyi: “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Demikian halnya, pasal 264 yang makin menutup ruang kritik rakyat terhadap pemimpinnya. Padahal pada 2006 silam, Mahkamah Konstitusi sudah menghapus pasal terkait penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, karena bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Saya tergelitik mengikuti diskusi tentang rencana Jokowi memunculkan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP. Apa sebenarnya makna martabat manusia? Apa makna simbol jabatan negara sebagai Presiden dan Wakil Presiden? Apakah kalau rakyat mengkritik dengan cara-cara yang keras sama artinya dengan menghina Presiden dan Wakil Presiden?
Sesungguhnya, martabat manusia dan juga jabatan yang diemban adalah untuk pelayanan; pemberian diri kepada sesama. Kritik yang dialamatkan kepada Presiden dan Wakil Presiden, apa pun bentuknya adalah wujud konkret kepedulian terhadap bangsa ini. Lagi pula, kritik yang disampaikan apa pun bentuk dan isinya tidak serta merta merendahkan martabat bangsa dan negara.
Sebagai Presiden, yang diidolakan rakyat, Jokowi semestinya memberikan ruang kritik, bukan sebaliknya hendak memangkasnya. Jokowi perlu terbuka dan siap menerima kritikan bahkan harus siap dihina demi kemajuan bangsa dan negara. Bahkan seharusnya Jokowi bersyukur atas semua kritikan dan hinaan, yang bisa dijadikan motivasi untuk menjadi pemimpin yang rendah hati dalam melayani rakyat. Kebesaran bangsa tidak diukur dengan sikap rakyatnya yang diam membisu. Kebesaran bangsa ditentukan oleh sikap partisipatif rakyat dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Salah satunya, melalui kritik keras, yang bisa saja berujung pada penghinaan.
Dan bagi saya, kritik itu membangun. Tanpa kritik, tidak ada bangsa. Tanpa kritik hanya ada makam kosong. Kalau mau bangsa ini maju dan rakyatnya sejahtera, setiap pemimpin harus mendengarkan kritikan dari rakyat.
Mengapa harus takut dikritik dan dihina? Ingat, penghinaan apa pun bentuknya, tidak pernah mengurangi martabat seseorang. Justru orang-orang yang menerima hinaan dengan tulus, akan mendapatkan hikmat dan berkat melimpah.
Kebesaran hati seorang pemimpin tidak ditentukan oleh kesuksesannya karena diterima oleh rakyat, tetapi saat dihina dan ia menerimanya dengan sabar.
Masih ada masalah bangsa yang lebih serius, ketimbang ribut soal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai pemimpin, bekerjalah dengan tulus-ikhlas untuk melayani, tidak usah minta dihormati. Sebab kehormatan sesungguhnya tidak ada di dunia ini. Kehormatan itu akan diterima oleh kaum yang sudah teruji menerima hinaan di dunia ini dengan rendah hati.
Hai pemimpin, bekerjalah untuk rakyat.
Hai pemimpin, dengarkan cacian rakyatmu.