Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru di Pedalaman Papua

24 Oktober 2014   22:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:51 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Masalah pendidikan di tanah Papua rumit. Wilayah geografis Papua, yang terdiri atas gunung, pantai, sungai dan rawa-rawa menyulitkan akses pendidikan bagi anak-anak Papua. Persebaran penduduk yang tidak merata dan minimnya sarana prasarana pendidikan menjadi penyebab pelayanan di bidang pendidikan belum berjalan maksimal.

Di wilayah pedalaman Papua, anak-anak Papua belum bisa menikmati pendidikan dengan baik. Para guru yang ditempatkan di sekolah-sekolah di daerah terpencil dan terisolir, tidak betah tinggal di kampung-kampung untuk mengajar. Para guru memilih tinggal di kota dan menelatarkan anak-anak didik.

Para guru memilih tinggal di kota karena berbagai alasan. Faktor keamanan diri, ketersediaan fasilitas dan penerimaan masyarakat setempat terhadap para guru menjadi penentu guru betah atau tidak tinggal di kampung. Para guru menerima gaji dan berbagai tunjangan daerah terpencil oleh negara untuk mengajar dan mendidik anak-anak, tetapi pada saat bersamaan, mereka tidak bisa melaksanakan tugas-tugasnya.

Mengapa situasi ini bisa terjadi? Kemanan dan kenyamanan adalah faktor utama yang menentukan guru tinggal di kampung. Guru mau tinggal di kampung untuk mengajar anak-anak, tetapi tidak ada jaminan keamanan. Guru sering mendapat diskriminasi dan ancaman, yang dilakukan oleh oknum di kampung. Selain teror fisik, ada juga teror mental. Misalnya, adanya gangguan dari kekuatan alam, roh-roh jahat. Akibatnya, guru meninggalkan kampung. Anak didik terlantar.

Faktor lain yang buat guru tidak betah adalah, tidak adanya sarana yang memadai. Guru dituntut tinggal di kampung, tetapi tidak disediakan rumah guru, air bersih, listrik, dan berbagai keperluan lainnya. Keadaan ini buat guru memilih tinggal di kota, ketimbang melaksanakan tugasnya di pedalaman.

Untuk mengatasi situasi ini, pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan tokoh agama perlu mencari solusi. Hal paling penting adalah masyarakat di kampung perlu menjamin keamanan dan keselamatan para guru. Guru harus dilindungi dan diberikan ruang untuk mengajar dan mendidik anak-anak. Selain itu, pemerintah harus menyediakan fasilitas yang memadai. Di setiap kampung yang ada sekolah, perlu dibangun rumah guru, fasilitas air bersih dan istrik.

Di sebagian kampung di Papua, masyarakat sudah menjamin keamanan guru, ada fasilitas yang memadai, ada tunjangan daerah terpencil. Tetapi, guru tetap tidak betah. Situasi ini mengingatkan kita semua bahwa menjadi guru adalah panggilan yang mulia, tetapi saat ini, guru hanya sebatas profesi untuk mencari sesuap nasi. Ada pergeseran makna guru, dari pendidik kepada sumber mata pencaharian. Kini, profesi guru diidentikan dengan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, jiwa pelayanan guru menjadi kerdil.

Kalau ditelusuri lebih jauh, proses mempersiapkan seseorang menjadi guru terbilang instan. Seseorang menyelesaikan pendidikan di bangku sekolahmenengah atas (SMA), bisa masuk ke fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Di bangku kuliah, para calon guru hanya sebatas menerima materi sesuai jurusannya. Para dosen pun sekedar mentranfer ilmu yang dimiliki. Sesudah itu, setiap akhir semester calon guru mengikuti ujian semester. Nilai diperoleh. Calon guru melangkah ke semester berikutnya, sampai menyelesaikan pendidikan sarjananya. Sesudah itu, calon guru mulai melamar menjadi untuk guru.

Selama proses pendidikan, calon guru kurang dibekali keterampilan teknis untuk mendidik dan mengajar. Calon guru kurang dibekali dengan nilai rohani atas panggilan menjadi guru. Calon guru kurang dipacu dan diberi motivasi untuk sungguh-sungguh membaktikan dirinya bagi peserta didik. Nilai hakiki menjadi guru, yakni panggilan untuk mencerdaskan masyarakat makin pudar.

Saat ini, sedang terjadi di wilayah pedalaman Papua, bahwa guru tidak lagi memiliki jiwa mencerdaskan masyarakat. Guru hanya sebatas profesi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Bahkan guru tidak lagi membanggakan. Guru hanya tinggal di kota dan menerima gaji, tetapi tidak pernah mendidik dan mengajar anak-anak di tempat tugasnya. Guru tidak lagi memberikan contoh yang baik untuk anak didik dan masyarakat luas.

Ke depan, pendidikan untuk calon guru harus dilakukan dengan lebih ketat dan pendampingan pun perlu diberikan, terutama terkait pembinaan mental calon guru. Jangan sampai, perguruan tinggi hanya menghasilkan guru-guru tidak bermutu. Ini akan merugikan masyarakat luas, terutama generasi muda.

Semoga para guru yang ditempatkan di pedalaman Papua semakin menyadari panggilannya menjadi guru, membaktikan dirinya untuk mencerdaskan masyarakat. Guru adalah pelita. Guru adalah penunjuk jalan. Ketika guru tidak lagi menjadi pelita dan penunjuk jalan, maka masyarakat akan merana. Kebodohan dan keterbelakangan akan menguasai masyarakat. Anak-anak usia sekolah akan terlantar dan masa depan mereka akan hancur.

Selain itu, pemerintah harus menyediakan sarana untuk para guru: rumah, listrik, parabola, TV, air bersih dan pasokan bahan makanan. Sedangkan masyarakat harus memberikan rasa aman. Dengan demikian, guru merasa nyaman dan betah tinggal di kampung-kampung terpencil di Papua untuk mendidik dan mengajar anak-anak.

Abepura, 24-10-2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun