[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Perempuan menggunakan noken (tas khas Papua) / Kompasiana (Kompas.com, Agus Susanto)"][/caption]
Senin, [8/4], pk 09.30 WIT, saya jalan-jalan ke pusat kota Jayapura, tepatnya di Jl. Ahmad Yani. Saya juga melintasi daerah Paldam, Klofkam. Saya lihat para penjual menjajakan jualan di sepanjang jalan, tepatnya di depan kantor lurah Gurabesi. Di sepanjang jalan ini, para pedagang kaki lima menjual kue, sayur, buah-buahan, ikan, daging dan beberapa peralatan dapur. Tempat ini dikenal sebagai pasar pagi Paldam.
Di antara ratusan pedagang, tampak juga mama-mama pedagang asli Papua, yang menjual ikan asar, sayur dan buah-buahan. Ada satu-dua orang yang saya kenal sewaktu saya terlibat dalam advokasi pasar untuk mereka. Sekilas saya melempar senyum kepada mereka.
Di balik senyum di wajah, ada sejuta tanda tanya yang muncul di lubuk hati: “di manakah komitmen pemerintah provinsi Papua (Lukas Enembe dan Klemen Tinal) untuk membangun pasar permanen bagi mama-mama pedagang asli Papua?” Saat ini, sebagian mama-mama berjualan di pasar sementara, yang terletak di Jl.Percetakan. Usia pasar sementara ini sudah hampir lima tahun, tetapi belum ada tanda-tanda akan adanya pembangunan pasar permanen.
Pemerintah provinsi Papua, buat janji berulang kali akan bangun pasar di areal DAMRI, tapi sampai sekarang belum terealisasi. Berbagai upaya telah dilakukan oleh solidaritas mama-mama pedagang asli Papua (Solpap), mulai dari melakukan audiens dengan pemerintah provinsi Papua dan DPRP, demonstrasi ke kantor walikota Jayapura dan DPRP. Tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda pembangunan pasar permanen yang dijanjikan. Alasannya klasik, masalah tanah DAMRI. Kalau mau bangun pasar, harus terlebih dahulu merelokasi DAMRI.
Pemerintah provinsi Papua sudah tahu letak kendalanya, tetapi tidak ada niat baik untuk menyelesaikannya. Ada kesan pemerintah di bawah kepemimpinan Lukas Enembe menutup mata terhadap pembangunan pasar untuk mama-mama Papua. Hal ini terlihat sangat jelas ketika Lukas Enembe lebih memilih untuk menyuarakan Papua menjadi tuan ruman PON XX, tahun 2020. Lukas Enembe lebih mementingkan undang-undang pemerintahan Papua dan kebijakan spektakuler lainnya, yang sebenarnya tidak dibutuhkan orang Papua. Lukas Enembe hanya melakukan konsolidasi dengan DPRP dan MRP serta melantik para pejabat di lingkungan pemerintah provinsi Papua, tetapi lupa akan jerit tangis mama-mama Papua yang setiap hari berjualan di pinggiran jalan Paldam dan pasar sementara di Jl. Percetakan.
Hari ini, Rabu, [9/4], bertepatan dengan pemilihan umum untuk anggota legislatif, gubernur Lukas Enembe dan wakilnya, Klemen Tinal merayakan genap satu tahun memimpin provinsi Papua. Untuk menyambut perayaan ini, selama dua hari, Senin-Selasa, [7-8/4] diselenggarakan pameran di areal kantor Gubernur Dok 2, Jayapura untuk menunjukkan capaian kinerja gubernur Lukas Enembe dan wakilnya, Klemen Tinal selama satu tahun. Bahkan tidak tanggung-tanggung ada stand film dokumenter: “dari pedalaman terpencil jadi gubernur”. Semua kegiatan ini menonjolkan Lukas Enembe sebagai putra pegunungan tengah pertama yang sukses dalam karir pemerintahan dan politik.
Di balik kisah ‘sukses’ yang telah dicapai, saya mempertanyakan komitmen Lukas Enembe untuk bangun pasar bagi mama-mama Papua. Masalah pasar mama-mama tampaknya terlalu sederhana, tetapi sejarah membuktikan bahwa sudah puluhan tahun, gubernur ganti gubernur, tetapi pasar untuk mama-mama selalu tidak mendapatkan tempat. Mengapa?
Matahari kian terik, saya pun terus melangkah meninggalkan mama-mama yang menjajakan jualannya di tepi jalan, tepat di depan kantor lurah Gurabesi. Saat melintasi Jl. Percetakan, saya lihat pasar sementara mama-mama sepi. Biasanya ramai saat sore hingga malam hari.
Semoga catatan singkat ini membangkitkan semangat untuk memperjuangkan pasar di tengah kota Jayapura bagi mama-mama Papua. Sudah saatnya, Lukas Enembe dan Klemen Tinal bangun pasar untuk mama-mama. Mau tunggu kapan lagi baru bangun pasar untuk mama-mama Papua?Mau tunggu siapa lagi yang akan bangun pasar untuk mama-mama Papua?
Akhirnya, saya sampaikan limpah terima kasih kepada teman-teman aktivis yang selama ini tidak pernah jenuh bersuara bersama mama-mama: kaka Robert Jitmau, kawan Cyntia Warwe, kawan Zakarias, kaka Rudolf Kambayong, kaka Miriam Ambolon, kaka Dora Balubun, kaka Rika Korain, kaka Budi Hernawan, kaka Rosa Moiwend, kaka Timo Safire dan semua teman yang tidak sempat saya sebutkan namanya. Semoga tetap semangat di dalam perjuangan ini.
Salam perubahan
Abepura, 08/04/2014; pk 19.30 WIT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H