Selasa, 25 Agustus 2015, pk 20.30 WIT saya dan kawan Yosef duduk makan di saya punya kos sederhana di kompleks kamp cina. Sejak November 2014 silam saya tinggal di kos ini. Sedangkan Yosef pernah tinggal di kompleks ini tahun 2008 silam, tetapi kemudian pindah dan Desember 2014, dia kembali lagi. Kami punya kamar berdekatan, sehingga bisa saling sapa setiap saat.
Malam ini, kami bercerita tentang makna hidup manusia. Kami berkisah tentang upaya menjadi manusia yang baik. Kami juga bergumul tentang bagaimana semestinya bersikap supaya bisa diterima oleh sesama. Kisah-kisah ini lahir dari pengalaman perjumpaan kami dengan sesama rekan kerja di setiap tempat yang pernah kami kerja.
Seringkali cara berada kita bikin sesama merasa kurang nyaman. Kita menampilkan sikap egois dan sombong. Kita merasa diri paling benar. Ketika ke-aku-an menjadi prioritas, maka relasi dengan sesama pasti kurang harmonis. Sesama akan merasa terganggu. Berawal dari situasi seperti ini, maka mulai muncul bisik-bisik tentang sikap yang kita tunjukkan itu.
Kami sadar bahwa tidak seorang pun berhak menghakimi sesamanya. Siapakah kita sehingga mau menghakimi sesama? Bukankah kita juga manusia rapuh dan lemah? Namun, sebagai makhluk sosial, kita patut saling mengingatkan. Hal ini penting supaya suasana hidup bersama dalam komunitas dan tempat kita bekerja dapat berjalan dengan harmonis.
Menjadi soal sekaligus menimbulkan pergumulan, ketika pribadi-pribadi yang suka pamer ke-aku-annya itu sulit untuk menerima kritik dan masukan. Mereka menganggap diri sudah mapan. Setiap kritik dan saran tidak lagi dihiraukan. Suasana komunitas dan tempat kerja seringkali menjadi suram akibat sikap ke-aku-an seperti ini.
Manusia memiliki akal-budi dan hati nurani. Dengannya, manusia mampu berpikir dan berefleksi. Apabila daya refleksi memadai, maka dapat dipastikan bisa hidup secara baik di tengah komunitas dan tempat kerja. Sebaliknya, kalau seseorang tidak memiliki refleksi yang mendalam tentang makna hidupnya, maka sikap ke-aku-annya akan terpelihara dan bertumbuh subur.
Saya sendiri memiliki refleksi tentang hidup ini. Siapakah saya? Saya manusia biasa. Saya diciptakan oleh Pencipta. Saya makhluk ciptaan, sama seperti sesama manusia lainnya. Bahkan dalam konteks keterciptaan, saya sama dengan cacing, air, udara, pohon, batu, dan lain sebagainya. Semua makhluk hidup dan benda mati yang ada di muka bumi ini diciptakan. Saya bagian integral dari ciptaan itu.
Semua makhluk hidup dan benda mati berasal dari sumber yang sama, yakni Pencipta. Apa yang saya banggakan? Saya hanya bangga pada Pencipta yang telah menciptakan segalanya yang baik. Saya bangga pada sesama makhluk ciptaan yang menerima keberadaannya. Saya juga bangga pada diri saya sendiri, karena diciptakan untuk hidup bersama makhluk ciptaannya lainnya. Pada titik ini, saya kagum pada St. Fransiskus Asisi, yang selalu mengajak semua makhluk untuk saling menerima sebagai Saudara. Kita adalah Saudara.
Saya tidak berhak untuk sombong. Apa yang saya sombongkan? Saya makhluk ciptaan! Tidak lebih! Kalau saya berbangga, itu karena Pencipta bukan karena saya. Sebab, segala perkataan, perbuatan, sikap hidup dan segalanya yang baik adalah milik Pencipta. Saya hanya diberi amanah untuk menyalurkan kebaikan Pencipta yang ada dalam diri saya. Saya tidak mau berbangga apa lagi sampai sombong karena kebaikan yang ada pada saya. Segalanya itu milik Pencipta dan harus dikembalikan kepada-Nya.
Seperti yang St. Fransiskus Asisi katakan, bahwa manusia hanya memiliki dosa. Saya hanya punya dosa. Itulah milik saya. Saya berjuang untuk selalu ada di jalan yang baik dan benar, jalan hidup suci, tanpa celah, tetapi saya selalu jatuh ke dalam dosa. Tetapi, saya yakin Pencipta itu mahamurah. Ia mengasihi saya. Ia mencintai saya. Di dalam Dia saya memperoleh segalanya yang baik. Di dalam Dia saya menerima pengampunan.
Saya menerima segala rahmat itu cuma-cuma, gratis. Saya patut menyalurkannya kepada sesama, tanpa kecuali. Kebaikan harus disalurkan kepada sesama, bukan ditahan dan disimpan untuk diri sendiri. Manusia tidak berhak menahan apa lagi meniadakan kebaikan Pencipta. Kebaikan harus disalurkan kepada semua makhluk tanpa kecuali, tanpa syarat apa pun juga.