Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahok Melawan Badai

26 Desember 2016   16:15 Diperbarui: 26 Desember 2016   16:21 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Saya melihat Ahok melawan badai. Ia berada dalam pusaran birokrasi yang belum sepenuhnya menghendaki adanya suatu transformasi keadilan sosial. Badai itu menguji jiwa petarungnya. Ia memilih menjadi pribadi yang jujur dan kritis. Ia tidak kompromi dengan sikap dan tindakan korupsi. Sikapnya yang tegas dan terkesan kasar menjadikannya sebagai pribadi yang kontroversial, dicintai di satu sisi, tetapi juga tidak sedikit yang membencinya. Ahok menampilkan sosok pemimpin yang berbeda pada zaman ini. Suatu zaman yang mengedepankan kesantunan semu dan abu-abu.” Begitulah saya merefleksikan gaya kepemimpinan Ahok yang sangat fenomenal itu.

Saat ini, media massa, baik televisi, koran, berita on line dan media sosial menampilkan berita hiruk-pikuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sejumlah wilayah di Indonesia. DKI Jakarta merupakan salah satu daerah yang akan melaksanakan Pilkada pada Februari 2017 mendatang. Genderangan pertarungan menuju kursi gubernur DKI Jakarta telah ditabuh. Ahok-Jarot, Anis-Sandiaga dan Agus-Silvi akan bertarung memperebutkan kursi gubernur DKI Jakarta. Ketiganya memiliki potensi untuk menang.

Beberapa survei belakangan memperlihatkan bahwa Ahok-Jarot masih unggul, tetapi prosentasenya menurun. Sementara dua pasang lainnya merangkak naik. Ahok menyikap hasil survei ini dengan nada santai. Ia tidak takut popularitasnya turun karena sikapnya yang tidak kompromi pada pemukiman liar di Jakarta. Bahkan pada masa menjelang Pilkada seperti ini, Ahok berani menggusur pemukiman liar di tepi sungai Ciliwung. Sebuah keputusan yang berani, sebab mengandung banyak risiko. Salah satunya, tidak akan terpilih menjadi gubernur.  

Sejak terpilih menjadi wakil gubernur Jakarta mendampingi Jokowi pada Pilkada 2012 silam, Ahok telah menetapkan komitmennya untuk menata Jakarta. Jiwa pemberaninya mendorong dirinya menggusur pemukiman liar di sepanjang tepi sungai Ciliwung. Ia hendak mengembalikan fungsi sungai Ciliwung sebagaimana mestinya.

Setiap kali ada penggusuran beberapa stasiun televisi meliputnya secara langsung. Wartawan televisi mewawancarai masyarakat yang menjadi korban penggusuran. Isak tangis mengharubiru di layar kaca. Sejenak penonton iba, sedih dan prihatin. Sebenarnya, Ahok sudah menyiapkan rumah susun di Rawa Bebek atau Marunda. Sayangnya, para korban penggusuran seringkali enggan pindah dengan berbagai motivasi dan alasan.

Rabu, 28 September 2016, di ufuk timur nusantara, Abepura, Jayapura, Papua, saya dan beberapa kawan duduk minum teh sambil berdiskusi tentang persiapan pelaksanaan fasilitasi ketangguhan masyarakat di kampung Tablanusu dan Tablasupa, kabupaten Jayapura. Di sela-sela percakapan itu, saya berkata kepada salah satu kawan, Priyo, “Kasian juga ya, Ahok gusur masyarakat kecil, tanpa memberikan kompenisasi.” Kawan Priyo, pemuda muslim yang taat beribadah ini menjawab, “Masyarakat juga mesti sadar bahwa mereka tinggal di tempat kumuh dan hendak dipindahkan ke tempat yang lebih layak. Lagi pula, mereka bukan penduduk asli Jakarta (Betawi), mesti bersyukur dikasih rumah susun yang bagus.”

Fenomena Ahok melawan badai tidak hanya menjadi buah bibir media massa dan warga Jakarta. Ahok telah menjadi ikon kontroversial, yang membuka ruang diskusi di gubuk-gubuk, warung kopi, rumah makan sampai hotel berbintang. Ia menjadi simbol melawan korupsi dan kelompok radikal. Kehadiran Ahok membuka ruang kepercayaan bagi generasi muda yang saat ini bersikap apatis karena perilaku penyelenggara negara yang korup.

Menyimak sikap, tutur kata dan tindakan Ahok terhadap realitas ketidakadilan sosial di Jakarta, sudah sepantasnya generasi bangsa ini bercermin. Generasi muda bangsa ini  harus membuat keputusan apakah mau mengikuti kesantunan semu, alias pura-pura kalem, sopan dan pemurah, tetapi korup. Ataukah sebaliknya, bersikap terbuka, kasar, tegas, tetapi bersih dan rendah hati melayani kepentingan masyarakat luas?

Pilkada kian mendekat. Berbagai kampanye anti Ahok dilontarkan. Ahok tidak takut. Ia yakin pada pilihannya untuk bersikap tegas dalam tutur kata dan tindakan. Secara pribadi, saya yang tinggal di Papua merindukan sosok pemimpin seperti Ahok. Sosok pemberani yang siap mengorbankan apa pun, bahkan nyawanya untuk perbaikan Jakarta.

Kita patut mengakui bahwa tatanan kehidupan sosial di Jakarta sudah rusak. Kesenjangan sosial menganga lebar. Orang kaya semakin kaya. Orang miskin semakin melarat. Tepi sungai Ciliwung dan kolong jembatan adalah saksi ketidakadilan sosial itu. Bagaimana mungkin para pemimpin Jakarta yang beriman dan berhati lembut selama berpuluh-puluh tahun memelihara kawasan kumuh, kampung narkoba, kampung seks bebas dan lain sejenisnya? Mengapa rakyat kecil dibiarkan tinggal di kawasan kumuh? Mereka dibiarkan mandi dan cuci menggunakan air kotor di sungai Ciliwung.

Suasana kontras di Jakarta, antara orang kaya dan miskin, antara tembok-tembok mewah dengan pemukiman kumuh, antara apartemen mewah dengan rakyat kolong jembatan mesti ditata kembali. Segenap rakyat Indonesia, bahkan dunia perlu belajar dari Jakarta. Segenap umat manusia perlu belajar tentang pentingnya keadilan sosial, bukan justru sebaliknya memanfaatkan rakyat jelata untuk meraup keuntungan bagi diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun