Jumat, 16 Oktober 2015, pk 14.30 WIT, saya pulang dari kampung Meukisi, dikstrik Yokari, kabupaten Jayapura. Saat sampai di dermaga Depapre, ada sinyal sehingga saya coba hidupkan hand phone. Setelah beberapa saat, saya bisa baca berita media online.
Saya terkejut ketika melihat berita tentang kekerasan, penyerangan dan pembakaran gereja di kabupaten Aceh Singkil. Ternyata peristiwa itu sudah terjadi sejak tanggal 13 Oktober 2015. Ada dua gereja dibakar massa, yang berasal dari pemuda peduli Islam (PPI). Selain dua gereja, kerusuhan ini menyebabkan tewasnya satu warga dan empat lainnya mengalami luka-luka.
Sebelum pembakaran gereja dilakukan, pada Senin, 12 Oktober 2015 sudah ada pembicaraan di kalangan pemerintah daerah kabupaten Aceh Singkil terkait penutupan dua puluh satu gereja, yang selama ini dipermasalahkan lantaran tidak memiliki ijin. Hanya sehari setelah pertemuan itu, tanggal 13 Oktober 20115, pukul 11.00 WIT massa melakukan pembakaran terhadap gereja. Penutupan gereja dianggap sah karena pada tahun 1979 sudah ada kesepakatan antara pemerintah kabupaten Aceh Singkil, para pemuka agama Islam dan kristiani terkait pendirian gereja. Waktu itu, umat kristiani hanya boleh memiliki satu gereja dan empat undung-undung. Bukan itu saja, pemerintah provinsi Aceh mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang pedoman pendirian rumah ibadah, yang isinya sangat diskriminatif. Pergub inilah yang menjadi pemicu aksi penutupan dan pembakaran gereja di wilayah provinsi Aceh.
Kembali ke pembakaran gereja di kabupaten Aceh Singkil. Sebenarnya, pihak pemerintah daerah dan aparat keamanan sudah tahu bahwa tanggal 13 Oktober 2015 akan ada aksi pembakaran gereja di Singkil. Ironisnya, tidak ada upaya pencegahan. Pemerintah kabupaten Aceh Singkil diam. Pemerintah provinsi Aceh diam. Bahkan pemerintah pusat juga anggap biasa saja. Negara membiarkan gereja di Singkil dibakar massa.
Jika pemerintah serius mau mencegah kerusuhan dan pembakaran gereja, maka seharusnya aparat keamanan siap-siaga di titik-titik yang terdeteksi bakal terjadi kerusuhan, sehingga bisa mencegah massa yang akan melakukan pembakaran gereja. Kenyataannya, aparat keamanan tidak ada di sana. Kalaupun ada tidak sebanding dengan massa. Kapolri mengatakan bahwa setiap gereja hanya dijaga oleh 20 orang polisi. Jumlah ini tidak sebanding dengan massa yang mencapai lebih dari 500 orang di setiap gereja.
Gereja dibongkar dan dibakar karena tidak memiliki ijin. Pertanyaannya, “Bagaimana ada ijin, kalau pihak pengurus gereja mengajukan ijin mendirikan bangunan untuk gereja, tetapi tidak diberikan ijin?” Bupati kabupaten Singkil, Safriadi mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan 1979 dan 2001 tentang membangun gereja di Singkili. Waktu itu disepakati satu gereja dan empat undung-undung. Kini sudah ada 23 undung-undung. Keadaan inilah yang menimbulkan gejolak.
Refleksi
Indonesia dibangun di atas dasar Pancasila dan UUD 1945. Bukan itu saja, semboyan Bhineka Tunggal Ika merekatkan keragaman agama, budaya, suku dan adat-istiadat. Setiap manusia (warga negara) yang tinggal di wilayah NKRI berhak mendapatkan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Salah satunya adalah berhak menjalankan kewajiban agamanya (beribadah) di mana pun dia tinggal (menetap) di wilayah NKRI.
Kini, Pancasila dan UUD 1945 serta Bhineka Tunggal Ika mulai pudar. Negara Indonesia kalah terhadap tirani mayoritas. Indonesia kalah terhadap dominasi Islam. Padahal, negara ini didirikan bukan di atas dasar mayoritas Islam, apa lagi minoritas. Negara Indonesia didirikan di atas dasar Pancasila. Negara wajib menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya, tanpa rasa takut.
Peristiwa pembakaran gereja di kabupaten Aceh Singkil memperlihatkan dengan jelas dan terang-benderang bahwa negara tidak hadir bagi umat Kristen yang adalah minoritas di Indonesia. Negara justru berlindung di belakang tirani mayoritas Islam dan berkolaborasi menindas kaum minoritas. Kalau negara adil, maka peraturan-peraturan agama yang mengabaikan sesama yang berbeda agama dan budaya harus ditolak, bukan sebaliknya dilindungi oleh negara. Misalnya, kesepakatan 1979, 2001 dan juga Pergub 25/2007 jelas-jelas menyudutkan umat Kristen, mengapa negara diam dan membiarkannya? Mengapa negara tidak ambil sikap untuk membatalkan aturan diskriminatif itu?