"Siapakah manusia di hadapan penderitaan? Bukankah penderitaan lahir karena sikap tamak manusia yang mengorbankan manusia lainnya? Dan, ketika manusia menderita, baik karena ulah sesama manusia maupun kerena bencana alam, di manakah Tuhan?"
***
Di hadapan penderitaan manusia karena kemiskinan ekstrem, gizi buruk, peperangan, pengungsian, perusakan hutan alam atau karena sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak adil dan korup, kita bertanya, "Siapakah manusia?" Manusia itu siapa? Mengapa manusia saling melukai dan menyakiti bahkan saling membunuh (perang) secara sadar, tahu dan mau? Di mana letak akal budi? Ke manakah hati nurani?
Kemanusiaan kita semestinya tergerak melihat sesama kita menderita, melarat, terkapar tak berdaya. Tetapi, mengapa kemanusiaan kita bisu dan membeku di tengah samudera penderitaan sesama manusia? Kita bahkan berceletuk, "bukan urusan saya," persisi di hadapan sesama manusia yang sedang terkapar, haus dan lapar! Bahkan, tidak jarang kita mengutuki, "dasar tukang bikin kacau!" terhadap mereka yang hidup di kolong jembatan, di emperan toko dan seterusnya.
Terhadap sesama manusia yang menderita, banyak kali kita mengabaikannya. Di sisi lain, kita yang suka memunggungi orang-orang kecil dan terbuang, kita pula yang paling rajin beribadah. Kita berdoa kepada Tuhan Allah. Suatu paradoks yang sedang menjadi kenyataan hidup sehari-hari.
Kita mengambil contoh sederhana. Setiap waktu kita beribadah. Kita berdoa kepada Tuhan Allah yang tidak terlihat, tetapi kita begitu mudah menolak orang miskin, tanpa berdialog dengan mereka. Atau, kita begitu rajin pergi ke rumah ibadah, melaksanakan setiap aturan dan ajaran agama secara ketat, tetapi kita tidak bisa memberikan segelas air kepada orang yang meminta air atau mereka yang lapar?
Sebelum terlalu jauh bertemu Sang Ilahi, di tempat tersembunyi, tunjukkanlah kasih kepada yang ada di depan mata kita. Kita tidak harus memberikan orang miskin uang dan makanan, Â tetapi kita dapat menolong mereka melalui pilihan sikap dan tindakan kebijakan yang berpihak pada mereka. Kita mengambil contoh konkret. Bagaimana sikap kita terhadap orang-orang miskin yang tidak bisa mengakses layanan BPJS Kesehatan karena belum terdaftar? Bagaimana kita bisa menolong orang-orang kecil yang tidak memiliki dokumen KTP, KK, akta lahir, anak, KIA, dan lain-lain?
Kekinian, kita menyaksikan penderitaan manusia yang luar biasa. Orang miskin semakin banyak. Perang tidak berkesudahan. Orang meninggalkan tanah kelahiran dan mengungsi demi mencari aman dan selamat. Perempuan dan anak-anak paling banyak menderita. Mereka pula yang paling banyak menjadi korban.
Di hadapan penderitaan manusia dan perang, di manakah akal budi dan hati nurani kita? Di manakah Tuhan Allah, Sang Ilahi, penguasa langit dan bumi? Mengapa tangan-Nya terlalu lama terkatup, membiarkan penderitaan manusia dan perang di antara manusia ciptaan-Nya berlanjut?
Sebuah ajakan sederhana. Di hadapan penderitaan, kita bisa bikin apa? Apakah kita akan diam saja? Ataukah kita tergerak untuk melakukan sesuatu yang dapat membantu sesama kita yang menderita? Kita memiliki pilihan sikap dan tindakan. Kita sendiri harus memilih dan melakukannya! Dan, Sang Ilahi pasti menolong. Sebab, untuk segala sesuatu yang baik, Dia tidak membiarkan kita berjalan sendiri! Amin.  [Merauke, 23 April 2024;  14.00 WIT].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H