Jauh sebelum Indonesia menduduki tanah Papua, orang Papua sudah menyalakan api kemerdekaannya. Dalam ingatan kolektif orang Papua, tanggal 1 Desember 1961, api kemerdekaan Papua itu dinyalakan. Sampai hari ini, api itu tetap menyala bahkan semakin berkobar.
Indonesia berupaya memadamkan api Papua Merdeka itu. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Trikora, yang berisi: 1) Gagalkan pembentukan Negara Papua buatan kolonial Belanda; 2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia; 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Melalui Dekrit ini, Indonesia berhasil menduduki Papua. Tetapi, Indonesia tidak pernah berhasil memadamkan api Papua Merdeka itu.
Pada zaman Orde Baru, pemerintahan Presiden Soeharto menerapkan kebijakan Operasi Militer (DOM) di tanah Papua. Tetapi, rangkaian operasi militer itu pun tak berhasil memadamkan api Papua Merdeka. Demikian halnya, pada era reformasi, pemerintah Indonesia menerbitkan kebijakan otonomi khusus (Otsus) Papua sejak tahun 2001 sampai saat ini, tetapi itu pun tidak berhasil memadamkan api Papua Merdeka.
Mengapa kebijakan Indonesia di Papua selama ini tidak berhasil memadamkan api Papua Merdeka? Apakah ke depan, Papua akan tetap berada di dalam rumah Indonesia atau akan memasuki rumahnya sendiri, rumah Papua Merdeka?
Membuka Pintu Perundingan/Dialog Jakarta-Papua
Sejak zaman Presiden Soekarno sampai pemerintahan Presiden Jokowi, pendekatan kepada orang Papua tidak menyentuh jiwa hidup orang Papua. Tampak jelas bahwa di dalam setiap kebijakan, pemerintah Pusat di Jakarta melihat dan menempatkan orang Papua sebagai yang terbelakang, bodoh, tidak mampu dan lain sejenisnya. Karena itu, orang Papua harus diindoktrinasi dengan berbagai peraturan dan kebijakan Pusat yang tidak menyentuh substansi hidup orang Papua.
Selain itu, ruang ekspresi, ruang bicara bagi orang Papua pun dieliminir dengan doktrin bahwa Papua sudah final di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Pepera 1969. Meskipun kita tahu bersama bahwa Pepera itu dilaksanakan dalam tekanan dan intimidasi! Tetapi, pemerintah Indonesia tetap bersikukuh bahwa Papua sudah final di dalam rumah NKRI. Karena itu, sampai saat ini pemerintah Indonesia tidak mau membuka ruang perundingan/dialog dengan orang Papua.
Berbicara tentang perundingan/dialog, pada tahun 2009, Pastor Neles Tebay menginisiasi upaya membangun perdamaian Papua melalui jalan dialog Jakarta-Papua. Ia menulis buku, "Dialog Jakarta-Papua, sebuah Perspektif Papua." Di dalam buku itu, Pater Neles memberikan lima belas pokok pikirannya mengenai dialog Jakarta-Papua, (Neles Tebay, 2009, hal viii). Intinya, pemerintah Indonesia dan orang Papua duduk di meja perundingan/dialog, mencari dan menemukan permasalahan Papua sekaligus jawaban untuk penyelesaian permasalahan-permasalahan itu.
Tidak hanya menulis buku, Pater Neles juga mendorong terbentuknya Jaringan Damai Papua (JDP). Ia bersama Muridan S Widjojo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIP) melahirkan JDP. Melalui JDP advokasi dialog Jakarta-Papua menjadi lebih efektif karena melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik para aktivis, akademisi, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan dan pemuda. Meskipun Pater Neles berupaya keras mempertemukan pemerintah Indonesia dan orang Papua di meja perundingan/dialog, tetapi sampai akhir hayatnya, impiannya itu tidak terwujud lantaran pemerintah Indonesia tidak menghendakinya. Â Â
Kekinian, situasi di Papua semakin tidak menentu. Kekerasan demi kekerasan datang silih berganti. Rakyat sipil dan TNI-Polri berguguran. Sampai kapan kekerasan di Papua akan berakhir?