Para misionaris membawa Yesus memasuki rumah hidup orang Papua. Kita melihat bahwa manusia orang Papua menjadi fokus pewartaan Injil. Para misionaris masuk ke dalam hidup orang Papua dan memperkenalkan Yesus. Kita menyaksikan bahwa Injil diterima dengan cepat. Orang Papua menerima pembaptisan. Orang Papua menjadi anak-anak Allah dan warga Gereja.
Sejak zaman misionaris sampai saat ini, Gereja berjuang memeluk orang Papua. Kita melihat banyak tantangan geografis Papua, bahasa, budaya dan penyakit malaria, tetapi para misionaris berani menerobos laut, sungai, hutan, gunung, lembah demi menjumpai orang Papua dan memperkenalkan Yesus. Para misionaris setia melayani orang Papua di tengah berbagai keterbatasan tersebut.
Para misionaris sungguh-sungguh memperhatikan orang Papua melalui pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pertukangan. Pendeta, Pastor, Bruder, Suster berperan sebagai guru, mantri, penyuluh pertanian dan tukang. Para misionaris mengorganisir orang Papua untuk sekolah, hidup sehat, membuka kebun dan membangun rumah-rumah sehat.
Kekinian, Gereja zaman misionaris seakan-akan tak berbekas lagi. Tidak ada lagi kisah Pastor dan Bruder bersama masyarakat membuka lapangan terbang. Tidak ada lagi Pastor berdiri mengajar di kampung. Tidak ada lagi Pastor membawa kotak obat dan jarum suntik. Tidak ada lagi Pastor di kebun bersama orang Papua. Tidak ada lagi Pastor membangun rumah warga bersama orang Papua.
Kehadiran Negara (pemerintah), kemajuan ilmu dan pengetahuan serta arus informasi dan transportasi yang maju pesat telah memisahkan Pastor dan Pendeta dari umat. Pastor tinggal di pastoran. Umat tinggal di rumah masing-masing. Gembala dan domba bertemu pada hari Minggu. Setelah ibadah, terjadilah perpisahan dan akan bertemu lagi pada hari Minggu berikutnya. Begitulah siklus rutin perjumpaan Gembala dan Domba masa kini di tanah Papua.
Kita perlu mengakui dengan jujur bahwa orang Papua masih sangat membutuhkan Gembala pada seluruh aspek kehidupan mereka. Bidang-bidang penting yang pernah dikerjakan oleh misionaris seperti pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi tetap relevan dilakukan oleh para Gembala pada masa kini. Mengapa para Gembala lekas meninggalkan orang Papua hanya karena pemerintah sudah hadir dan melayani masyarakat pada bidang kehidupan tersebut?
Gembala Masuk ke dalam Kandang Domba
Para Gembala yang melayani orang Papua, baik Uskup, Pastor, Pendeta, Katekis, Guru Jemaat, Majelis merasa dan mengalami bahwa mereka dipanggil oleh Allah dan diutus ke tengah-tengah kawanan domba orang Papua. Namun, acapkali, kita mendengar Gembala mengeluh. "Umat malas datang ke gereja. Umat tidak memberikan perpuluhan dan kolekte dan rupa-rupa keluhan lain." Bukankah Gembala datang untuk membawa domba-domba yang tersesat ini untuk kembali ke rumah Tuhan?
Kekinian, kita melihat betapa Gembala semakin jauh dari rumah kawanan domba. Padahal, Gembala di utus ke tengah-tengah hidup kawanan domba. Seorang Gembala diharapkan datang, masuk dan tinggal bersama kawanan domba. Di dalam perjumpaan itu, Gembala bisa mendengarkan dan melihat realitas hidup dan pergumulan kawanan domba.
Pastor Yosep Din, Pr di paroki Santa Silvia Yamas memiliki pola pendekatan pastoral sederhana. Pastor bilang, "Orang cerita umat Yamas kepala batu. Masalah banyak. Saya ke Yamas. Saya ajak mereka kami bikin kebun. Saya buka kebun dan kolam ikan. Mereka lihat. Mereka bikin mereka punya kebun pisang dan kolam ikan," tuturnya.
"Saya bikin pembinaan di kebun. Kami omong di kebun. Kalau umat sudah punya kebun, mereka lupa untuk bertengkar. Segala energi tercurah untuk bikin kebun. Mereka pikir kebun setiap hari sehingga lupa bertengkar," tutur Pastor Yos sapaannya.