Saat ini diskusi publik dan demonstrasi penolakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua jilid II semakin bergelora. Mahasiswa, aktivis kemanusiaan, organisasi pergerakkan pembebasan Papua dan pimpinan Gereja di tanah Papua menyerukan penolakan Otsus jilid II. Bahkan para imam Katolik pribumi Papua, yang dikoordinir oleh Pastor Alberto John Bunay, Pr pada Selasa, 21/07/2020), di Abepura menyerukan  penolakan Otsus jilid II serta meminta pemerintah Indonesia memberikan kesempatan refrendum bagi orang Papua.
Penolakan Otsus Papua merupakan bentuk protes keras terhadap sikap pemerintah Indonesia kepada orang Papua. Selama pelaksanaan Otsus 2001-2020, kualitas hidup orang Papua tidak menjadi lebih baik. Hak asasi manusia orang Papua terabaikan. Pendidikan, kesehatan dan ekonomi orang Papua tidak mengalami peningkatan apa pun.
Berapa orang Papua meraih gelar doktor pada bidang ilmu terapan seperti peternakan, pertanian, perikanan, kehutanan? Berapa orang Papua menjadi dokter, dokter spesialis dan dokter gigi? Berapa orang Papua memiliki kios, toko dan usaha lainnya?
Kita menyaksikan kota-kota di Papua dikuasai oleh orang pendatang. Pembangunan terpusat di kota-kota. Padahal orang Papua tinggal di kampung-kampung. Semestinya, pembangunan pendidikan, kesehatan dan ekonomi berkiblat ke kampung. Sebab, di sanalah orang Papua tinggal. Pembangunan di kota-kota di Papua untuk siapa?
Lebih ironis, pada era Otsus pemerintah Indonesia memberlakukan operasi militer sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Nduga sejak Desember 2018 silam. Di daerah-daerah, kita mendapatkan informasi aparat keamanan melakukan penembakan terhadap orang Papua sebagaimana yang terjadi di Paniai, 8 Desember 2014, di Fayit, Asmat, 27 Mei 2019 dan berbagai wilayah lainnya di Papua.
Realitas Papua semacam ini telah melahirkan kesadaran kolektif orang Papua untuk bangkit melawan penindasan yang berlangsung sistematis ini. Orang Papua mau selamat di atas tanah leluhurnya. Orang Papua tidak mau punah. Itulah alasan di balik gencarnya aksi penolakan Otsus Papua yang saat ini sulit dibendung oleh pemerintah Indonesia.
Di tengah gelombang penolakan Otsus dan tuntutan refrendum itu, pemerintah pusat melalui Menteri Agama, H. Fachrul Razi meluncurkan program, "Kita Cinta Papua" dengan memberikan dana beasiswa, bantuan untuk pendidikan agama dan pendidikan keagamaan serta lembaga keagamaan di Papua dan Papua Barat yang nilainya mencapai 65 miliar.
Menyikapi hal itu, para imam Katolik pribumi Papua dalam pernyataannya menulis, "berdasarkan surat edaran Menteri Agama RI, 'Kita Cinta Papua,' kata-kata itu sangat baik dan benar, supaya orang Papua dapat percaya, maka kami minta pemerintah Indonesia mengizinkan wartawan asing masuk ke papua untuk melihat dan meliput hasil pembangunan di tanah Papua selama otonomi khusus 2001-2020."
Itulah reaksi sesaat pemerintah Indonesia dalam menyikapi aksi penolakan Otsus Papua. Program "Kita Cinta Papua" tidak akan berdampak apa pun pada situasi Papua. Sebab, tidak menyentuh hakikat permasalahan Papua. Orang Papua tolak Otsus dan minta refrendum dijawab dengan program "Kita Cinta Papua" yang semu. Bagaimana mencintai Papua sekaligus menganggapnya separatis sehingga kapan saja bisa ditembak mati?
Kita patut merefleksikan dua hal. Pertama, mengapa pemerintah Indonesia tidak mau membuka ruang dialog atau perundingan dengan orang Papua dalam memetakan permasalahan Papua serta mencari alternatif penyelesaiannya? Pastor Neles Tebay, Pr sejak tahun 2009 memperjuangkan Dialog Jakarta-Papua, melalui Jaringan Damai Papua (JDP), tetapi pemerintah Indonesia tidak menanggapinya secara serius sampai beliau wafat pada tahun 2019 silam.
Kedua, siapa orang Papua di hadapan pemerintah Indonesia? Cara pandang pemerintah Indonesia terhadap orang Papua sangat menentukan pilihan sikap, tindakan dan kebijakan bagi masa depan Papua. Selama ini tampak bahwa pemerintah Indonesia melihat orang Papua sebagai musuh negara dan separatis. Hal itu terlihat dari pengiriman pasukan militer secara berlebihan ke tanah Papua.Â