Mama Bumi merupakan rumah bersama bagi segenap makhluk ciptaan. Meskipun demikian, realitas memperlihatkan, manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan mendominasi bahkan menguasai ciptaan lainnya.Â
Alam menjadi rusak karena dieksploitasi secara berlebihan oleh manusia. Manusia bagaikan virus yang menakutkan bahkan mematikan bagi alam. Kerusakan alam sebagai akibat dari keserakahan manusia itu melahirkan berbagai bencana alam dan penyakit yang datang silih berganti menghampiri manusia.
Dewasa ini, kerusakan alam semakin meluas. Hutan telah berganti menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri lainnya. Sebagian hutan telah berubah wujud menjadi lokasi pemukiman.Â
Gunung dibongkar untuk eksploitasi tambang emas, nikel, batu bara dan lain-lain. Penangkapan ikan menggunakan pukat harimau. Pertanian dan perkebunan menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Berbagai produk menggunakan kemasan plastik. Kantong plastik beredar secara luas di pasar dan mall.
Kerusakan alam tidak berdiri sendiri. Ekosistem di alam menjadi rusak karena intervensi manusia yang tidak bertanggung jawab. Manusia terlampu mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan sesamanya dan alam.Â
Sikap dan perilaku individualistik dan konsumtif masih mendominasi hidup manusia. Sikap ugahahari dan sederhana masih merupakan cita-cita abstrak yang belum terwujud. Manusia berlomba-lomba memperkaya dirinya sendiri dengan mengorbankan sesamanya dan alam semesta.
Mama Bumi, rumah kita bersama sedang menangis. Dalam situasi seperti itulah, Paus Fransiskus mengeluarkan enseklik Laudato Si', pada 24 Mei 2015. Laudato Si' menarasikan kembali jeritan alam sekaligus mengajak manusia untuk berdialog tentang kondisi Mama Bumi. Paus Fransiskus menulis, "Saya meminta dengan sangat agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusiawinya, menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua." (Laudato Si', No.14).
Laudato Si' telah berusia lima tahun (2015-2020). Apakah manusia pada umumnya dan secara khusus umat Katolik telah mengambil bagian dalam percakapan tentang merawat Mama Bumi? Kita melihat dan mengalami bahwa dokumen Laudato Si' yang berisi ajakan Paus Fransiskus untuk memelihara alam masih sebatas diskusi dan percakapan di kalangan elit Gereja: Pastor, Frater, komunitas religius biarawan-biarawati dan kelompok pemerhati hak asasi manusia dan lingkungan. Laudato Si' belum meng-umat. Ia masih berada di luar kehidupan umat beriman Katolik dan manusia beriman lainnya. Ia belum masuk dan menjadi bagian hidup manusia.
Seyogianya, panggilan merawat Mama Bumi, rumah kita bersama bersifat universal, melampaui perbedaan suku bangsa, budaya dan agama. Mama Bumi dihuni oleh segenap manusia, maka setiap pribadi manusia bertanggung jawab merawatnya. Universalitas dokumen Laudato Si' tampak jelas dalam "doa untuk bumi kita" yang diperuntukkan bagi segenap umat beriman. Meskipun demikian, usaha perawatan Mama Bumi masih berjalan tertatih-tatih, baik di dalam Gereja Katolik maupun pada masyarakat luas.
Kita menyaksikan limbah dan sampah domestik, yang berasal dari keluarga-keluarga masih berserakan di sekitar rumah tempat tinggal. Parit-parit tampak kumuh dan kotor tertutup sampah dan limbah. Sampah plastik mendominasi permukaan air sungai dan laut. Di dalam keluarga-keluarga, kita menyaksikan pemborosan pemakaian produk kimia, sabun mandi, sabun cuci, pembersih lantai dan lain-lain. Pemakaian air dan listrik secara berlebihan, tanpa memikirkan jeritan Mama Bumi dan orang-orang miskin yang tidak dapat mengaksesnya.
Keluar dari rumah, kita menyaksi para petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam mengolah sawah padi, kebun sayur dan buah-buahan. Di jalan raya, kita menyaksikan kendaraan pribadi (motor dan mobil) lalu lalang tanpa henti, yang menyebabkan udara menjadi kotor. Di Mall, toko dan pasar, kita menyaksikan hampir semua produk berbalut bahan dasar plastik.