"Yesus tidak ada di sini. Dia telah bangkit! (Matius 28:6).
Warta kebangkitan Yesus itu diterima oleh perempuan Maria Magdalena dan Maria lainnya dari malaikat Tuhan. Keduanya mendapatkan kesempatan istimewa menjadi orang pertama yang mengetahui bahwa Yesus telah bangkit, bukan dari manusia, melainkan dari malaikat Tuhan dan Yesus sendiri. "Salam bagimu. Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku supaya mereka pergi ke Galilea dan di sanalah mereka akan melihat Aku," (Matius 28:9-10). Yesus mempertegas penyampaian malaikat Tuhan kepada kedua perempuan itu bahwa diri-Nya telah bangkit!
Yesus sudah bangkit! Puncak perayaan Paskah adalah kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, penebus dunia. Kebangkitan Yesus menjadi nyata bahwa dosa dan maut tidak berkuasa atas hidup manusia. Relasi manusia dan Allah telah pulih. Manusia kembali hidup selaras dengan Allah.
Kebangkitan Yesus sekaligus meninggalkan makam kosong. Apa arti makam kosong? Ia tidak berguna lagi. Ia hanya berguna tatkala digunakan untuk meletakkan jasad yang akan menjadi tanah dan debu. Makam kosong menjadi simbol keterlepasan manusia dari kedagingan, nafsu birahi ingin menguasai, egoisme dan sikap individualistik. Manusia seyogianya meninggalkan perilaku korupsi, pencuri, iri hati, dendam dan lain sejenisnya yang merenggut martabatnya  yang luhur di hadapan Allah.
Perayaan Paskah, Minggu, 12 April 2020 memiliki catatan tersendiri. Gedung gereja kosong! Sejak hari Minggu Palma, 5 April 2020 tidak ada perayaan Ekaristi di gereja. Kondisi ini terjadi lantaran virus corona (Covid-19) yang sedang mengaung mencari mangsa di muka bumi ini. Virus ini telah menginfeksi jutaan orang dan ratusan ribu lainnya meningga dunia.
Kita mengalami bahwa seketika gedung gereja kosong. Keramaian peribadatan pada pekan suci, secara khusus Trihari Suci, Jumat Agung, Sabtu Suci dan Minggu Paskah menjadi sepi. Umat beribah di rumah masing-masing atau mengikuti ibadah on line, atau melalui radio dan televisi. Suasana perayaan Paskah tidak semarak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada gegap gempita di bangku koor gereja. Sunyi dan sepi mewarnai kehidupan pengikut Tuhan Yesus sejagat.
Makam kosong karena Yesus telah bangkit menjadi simbol ketidakabadian kehidupan di dunia ini. Makam kosong mengingatkan segenap umat beriman bahwa pada waktunya gedung gereja di dunia ini akan kosong, bukan karena virus corona, melainkan  karena persatuan kekal umat beriman dengan Allah di surga abadi. Ketika waktunya tiba, umat beriman tidak lagi membutuhkan gedung gereja fisik. Karena itu, perayaan Paskah tahun 2020 menjadi momentum emas merefleksikan makna Gereja yang sesungguhnya, yang bermula di dalam keluarga itu sendiri.
Kita juga dapat merefleksikan bahwa Paskah tahun 2020, menjadi teguran untuk para pengikut Tuhan Yesus, terutama pimpinan Gereja dan para gembala umat bahwa gedung gereja fisik bukanlah yang pertama dan utama di dalam kehidupan beriman kristiani.Â
Pandemi virus corona yang menyebabkan umat Allah beribadah di rumah masing-masing menjadi peringatan nyata dan jelas bahwa kehidupan beriman umat Kristen tidak bisa disamakan dengan gedung gereja. Bahwa gedung gereja penting, tetapi bukanlah yang utama, sebab kehidupan iman umat, sebagai sebuah persekutuan tidak identik dengan gedung gereja yang mewah. Persekutuan itu terbangun di dalam keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas umat beriman. Tuhan hadir di sana, di dalam keluarga dan komunitas-komunitas itu!
Dalam konteks Papua, setelah pandemi virus corona, apakah gedung gereja masih penting? Ibadah bersama sebagai sebuah persekutuan umat beriman kristiani merupakan bentuk perwujudan iman yang otentik. Gedung gereja memang tetap diperlukan, tetapi tidak lagi dengan membongkar gedung gereja yang sudah ada dan masih layak pakai kemudian mengumpulkan dana miliaran rupiah untuk membangun gedung gereja baru yang mewah di tengah penderitaan umat manusia orang asli Papua saat ini.
Kita menyaksikan, misalnya Gereja Katolik Keuskupan Jayapura sedang berlomba-lomba menghancurkan gedung gereja yang dibangun pada zaman misionaris seperti gedung gereja Katedral Jayapura, gedung gereja Santo Petrus dan Paulus Argapura dan gedung gereja Sang Penebus Sentani. Alasannya, gedung gereja lama tidak bisa menampung ribuan jemaat. Sebuah alasan klasik yang dikemukakan untuk menutupi kesombongan diri di tengah penderitaan orang Papua.Â
Bagaimana pimpinan Gereja dan gembala umat di kota-kota di Papua merasa sangat nyaman merayakan Ekaristi di gedung gereja mewah dan tinggal di istana pastoran yang serba lengkap sambil mengabaikan rekan Pastor dan gembala yang tinggal di pedalaman yang hidup sangat sederhana? Kita melihat bahwa seruan solidaritas dan empati tampak di mulut saja! Para gembala di kota-kota di Papua bersama umatnya lebih mementingkan kemewahan gedung gereja ketimbang bersolidaritas dan berempati dengan kemanusiaan jemaat seiman di wilayah pedalaman Papua. Â
Banyak tahun sebelumnya, perayaan Paskah, para gembala dan umat beriman  telah mengabaikan aspek penting makam Yesus yang kosong. Perayaan Paskah identik dengan kemeriahan gedung gereja dan kelompok paduan suara lantaran pesta besar, Tuhan bangkit.Â
Paskah tahun 2020 telah mengembalikan esensi Paskah yaitu hidup dan bangkit bersama Yesus. Umat Allah menjadi manusia baru. Kebangkitan itu bermula di dalam keluarga-keluarga. Yesus sendiri telah hidup dan bangkit. Ia telah berjumpa dengan keluarga-Nya, perempuan-perempuan yang mengikuti-Nya dan para rasul-Nya. Mereka yang selama karya-Nya menyertai-Nya.
Kita menyaksikan perayaan Paskah tahun 2020 ini, Gereja kosong di seluruh dunia, mulai dari Vatikan sampai di kota-kota di Papua, menjadi simbol bahwa persekutuan manusia menjadi lebih utama ketimbang gedung gereja! Manusia sebagai gambar dan rupa Allah harus menjadi prioritas pelayanan para gembala umat, bukan gedung gereja seperti yang dipraktekkan di Papua saat ini.Â
Pimpinan denominasi Gereja berlomba-lomba membangun gedung-gedung mewah di kota-kota di Papua dan mengabaikan orang Papua yang tidak bisa berobat, tidak bisa berobat dan gizi buruk serta mati karena malaria, TBC, kusta, HIV-AIDS, ditembak aparat keamanan dan lain-lain. Terhadap kondisi ini, baik para gembala maupun jemaat harus bertobat!
Perayaan Paskah tahun 2020 tanpa umat di gedung gereja menjadi gerakkan pemulihan martabat pribadi manusia. Santo Fransiskus Asisi berkata, "Sebab, seperti apa nilai seseorang, di hadapan Allah, begitulah nilai orang itu dan tidak lebih," (Petuah 19, ayat 2b).Â
Selama ini, pimpinan Gereja dan para gembala, terutama di kota-kota di Papua mengabaikan pelayanan yang menyentuh aspek martabat pribadi manusia (jati diri manusia) dan mengejar aspek fisik gereja: gedung gereja, pastoran dan berbagai aksesoris fisik lainnya.
Saat ini dan ke depan, para gembala harus bertobat dari sikap dan perilaku membangun gedung-gedung itu. Para gembala harus fokus pada pelayanan yang menyentuh kebutuhan manusia, orang-orang Papua yaitu di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, termasuk pengelolaan tanah dan hutan. Manusia orang Papua yang telah dibaptis oleh Pastor dan Pendeta dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus harus menjadi subjek pelayanan demi peningkatan iman dan kehidupan sosial ekonomi yang lebih memadai bukan sebaliknya menjadi objek.
Makam Yesus sudah kosong! Gedung gereja sedang kosong karena pandemi virus corona! Apa lagi yang bisa dibanggakan dari Gereja? Gereja memiliki umat Allah yang hidup dan bangkit. Umat Allah itulah kebanggaan terbesar. Walaupun sebagai persekutuan, kita memiliki gedung gereja sederhana, tetapi kita memiliki umat yang sungguh-sungguh hidup dan bangkit. Sebuah komunitas umat beriman yang hidup sesuai amanat Injil: belas kasih, jujur, setia, rendah hati; tidak ada lagi korupsi, perusakan hutan, pencurian, mabuk-mabukan dan lain-lain. Itulah Paskah Tuhan. Itulah kebangkitan kita! Itulah kebanggaan kita!
Selamat Paskah.Â
 [Agats, 12-4-2020]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H