"Untuk memajukan pendidikan dasar di Asmat, kita membutuhkan guru-guru yang memiliki hati sebagai pendidik bukan pengajar. Guru yang mendidik akan memberikan nilai-nilai hidup baik kepada anak-anak. Bahkan ketika ada anak-anak yang tidak masuk sekolah selama dua atau tiga hari, ia akan pergi mencari di rumah," tutur Abraham Yakairem, pensiunan guru di Asmat, pada Minggu, (08/12/2019) di rumahnya, kampung Syuru.
Dataran rendah berlumpur. Pada saat air laut pasang, seluruh wilayahnya terendam air. Hutan mangrove menutupi hampir seluruh wilayahnya. Rumah-rumah sederhana beratapkan daun sagu berjejer di tepi sungai dan perkampungan. Sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mengandalkan air hujan dari langit. Itulah sekilas gambaran wilayah Asmat.
Asmat menjadi ladang persemaian manusia-manusia unik yang memiliki kemampuan mengukir tingkat tinggi. Para pengukir Asmat (wow ipits) merupakan representasi manusia Asmat sesungguhnya. Pada diri wow ipits, orang bisa belajar tentang siapa itu manusia Asmat?
Kesatuan orang Asmat dengan alam, roh-roh (roh leluhur, roh pohon, roh binatang dan roh-roh lainnya), sesama manusia dan Pencipta mengantar orang Asmat selalu mensyukuri hidup mereka.Â
Bentuk konret ungkapan syukur atas anugerah hidup dan kelimpahan hidup tertuang melalui pesta-pesta adat seperti pesta pendirian Jew baru dan lain-lain. Pesta menjadikan orang Asmat "berdaya". Sebab, melalui pesta mereka menimba kekuatan sosial di antara mereka yang masih hidup, serentak pula memperoleh kekuatan dari roh-roh leluhur dan alam semesta serta Pencipta.
Tanpa melebih-lebihkan, sesungguhnya orang Asmat adalah manusia pembelajar. Secara prinsip, pada diri orang Asmat terpatri semangat belajar yang tidak terelakkan. Mereka belajar bertahan hidup di rimba berlumpur. Mereka belajar mencari makan di dusun.Â
Mereka belajar teknik perang. Mereka juga belajar mengayau. Mereka belajar mengukir. Mereka belajar menganyam. Secara umum, orang Asmat tidak hanya belajar untuk bertahan hidup har ini, tetapi demi kelangsungan hidup dan masa depan komunitas suku dan marga (fam).
Alam semesta (rawa-rawa, sungai, dusun) adalah ruang sekolah yang tidak bersekat. Alam menjadi tempat belajar paling efektif. Di alam itulah orang Asmat belajar tentang cara mempertahankan hidup. Di alam pula, orang Asmat menemukan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, orang Asmat selalu memelihara alam sebagai Mama, yang mengandung, melahirkan dan menyusui.
***
Proses belajar di tengah-tengah alam semesta, perlahan berubah tatkala pada 3 Februari 1953, Pastor Zegward MSC tiba di Syuru. Sejak saat itu, para misionaris Katolik mulai memperkenalkan pendidikan yang dibawa dari luar Asmat: membaca, menulis dan berhitung dalam cara baru, yaitu cara-cara belajar yang sudah lazim berlaku ribuan tahun sebelumnya di luar Asmat.