Kondisi semacam ini terjadi lantaran konstruksi budaya yang cenderung menempatkan laki-laki sebagai yang utama ketimbang perempuan. Budaya patriarki mendominasi. Suara laki-laki lebih diutamakan ketimbang perempuan. Dampaknya, dalam kehidupan sosial, perempuan selalu tersingkir.
Masih segar dalam ingatan saya. Pada 23 Desember 2004 silam, kami berjalan dari Pugima ke Popugoba. Mama Hisage memikul dua noken. Satu noken berisi anaknya. Satu noken lainnya berisi petatas dan daun petatas. Meskipun susah payah memikul dua noken itu, Mama Hisage masih minta lagi untuk memikul tas saya.
"Anak, kasih tas itu Mama yang pikul," tutur Mama Hisage. "Tidak bisa Mama. Saya  pikul sendiri. Mama sudah pikul dua noken itu," jawab saya tanpa menyerahkan tas ransel saya. Kemudian, Mama Hisage dengan agak mendesak berkata, "Anak, kami punya adat itu, perempuan yang pikul barang-barang bukan laki-laki," tuturnya. Kemudian, dari depan, terdengar suara Bapa Yusuf Hisage, "Anak, ko kasih Mamamu pikul itu tasmu." Saya tetap tidak memberikan tas itu. Saya sendiri membawanya sampai di Popugoba.
Konstruksi budaya patriarki membuat perempuan berpikir seakan-akan memikul barang-barang merupakan pekerjaan perempuan. Padahal, pada zamannya, ketika konstruksi pikiran tersebut lahir karena situasi perang. Laki-laki harus berjalan di depan, membawa busur dan anak panah serta kapak untuk melindungi keluarganya. Akibatnya, urusan di luar perang harus dikerjakan oleh perempuan. Tetapi, kini ketika tidak ada lagi peperangan suasana itu terpelihara rapi, seakan-akan tidak bisa diubah sama sekali.
Perempuan Papua menjadi tumpuan harapan masa depan Papua. Papua di masa depan sangat ditentukan oleh perempuan Papua yang ada saat ini. Sebab, merekalah yang mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan anak-anak generasi masa depan Papua.
Meskipun perempuan adalah pemelihara kelangsungan hidup masa depan Papua, tetapi perempuan Papua belum bebas dari lingkaran kekerasan yang selama ini tercipta. Perempuan Papua masih mengerjakan segala urusan rumah tangga. Mereka juga dipaksa untuk melahirkan anak sebanyak mungkin. Pada saat bersamaan, kondisi gizi perempuan, termasuk anak perempuan terpuruk. Dalam kondisi semacam ini, bagaimana perempuan Papua akan melahirkan generasi masa depan Papua yang unggul?
Selain konstruksi budaya partiarki, perempuan Papua juga berada dalam pusaran konflik Papua dan Indonesia. Perempuan Papua seringkali menjadi korban politik kekuasaan Negara. Misalnya, sejak tanggal 2 Desember 2018, aparat keamanan Indonesia melancarkan operasi militer di Nduga. Operasi militer tersebut menyengsarakan perempuan dan anak-anak Papua. Para perempuan Papua di Nduga harus meninggalkan rumah mereka demi mencari perlindungan di tempat yang aman. Para perempuan dan anak-anak lari ke hutan. Sebagian pergi ke Wamena. Ratusan lainnya meninggal dunia karena sakit dan kekurangan makanan.
Perempuan Papua juga banyak menanggung penderitaan akibat anak-anak mereka ditembak oleh aparat keamanan Indonesia. Misalnya, peristiwa 8 Desember 2014 silam ketika aparat keamanan menembak mati empat pelajar di lapangan Karel Gobay, Paniai. Mama manakah yang tega melihat darah dagingnya mati bersimbah darah seperti binatang burunan di tangan aparat keamanan Indonesia?
Menyimak realitas Papua dewasa ini, kita menemukan bahwa perempuan Papua sedang terhimpit oleh beban kerja yang tinggi, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Perempuan Papua, terutama yang berada di kampung-kampung juga harus menghadapi tuntutan melahirkan anak sebanyak-banyaknya. Selain itu, perempuan Papua di kampung-kampung juga berada dalam situasi rentan karena minimnya layanan kesehatan.
Mengingat perempuan sangat menentukan keberlangsungan hidup dan masa depan orang Papua, maka para pihak, terutama tua-tua adat dan kaum laki-laki harus memberikan perhatian lebih serius kepada perempuan. Kalau perempuan Papua tidak sehat, sakit-sakit dan kekuarangan gizi, apakah mereka akan melahirkan generasi Papua yang unggul?
Perempuan menjadi tumpuan harapan masa depan Papua. Merekalah yang menentukan punah atau tidaknya marga atau fam suku-suku di Papua. Kalau perempuan Papua sehat, mereka akan melahirkan generasi Papua yang unggul. Mereka akan bisa mendidik anak-anak Papua untuk bertumbuh menjadi pemimpin-pemimpin handal bagi orang Papua. Karena itu, tua-tua adat dan segenap laki-laki Papua harus memberikan perlindungan dan penghormatan setinggi-tingginya bagi perempuan Papua.