Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Potret Perempuan Asmat yang Tangguh

5 Juni 2018   21:18 Diperbarui: 7 Juni 2018   05:06 2754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak perempuan Asmat mulai memperoleh akses kepada pendidikan berkualitas di SD YPPK St. Don Bosco, Ewer, 8 September 2017. Perlu kolaborasi dan integrasi di semua sektor untuk memperhatikan anak-anak perempuan Asmat supaya bisa memperoleh layanan pendidikan, kesehatan dan ekonomi secara memadai. Dok. Pribadi

Asmat memesona. Manusia Asmat ramah. Alamnya indah. Lekuk sungai dan hutan bakau memenuhi tanah lumpur Asmat. Di sungai keruh itu hidup udang dan ikan. Pada hamparan bakau terdapat kepiting. Manusia Asmat hidup berkelimpahan di atas tanah subur dan kaya.

Ketika melewati jalan-jalan protokol di Agats, atau ke kampung-kampung di luar Agats, kita akan menyaksikan mama-mama Asmat beraktivitas tanpa henti. Bukan hanya mama-mama, anak-anak perempuan Asmat pun tampak sibuk membantu orang mereka. Mereka bekerja tanpa lelah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Di Asmat, mama-mama dan anak-anak perempuan rajin mencari ikan dan kepiting. Mereka pergi ke tepian laut Arafura. Di sana mereka mamasang jaring. Sebagian lainnya menebar pancing. Hasil tangkapan ikan dijual ke kota Agats.

Pada musim udang, mama-mama Asmat mencari udang menggunakan serok. Tampak anak-anak perempuan membantu para mama mencari udang. Mereka bisa mendapatkan udang sedang berember-ember. Udang-udang tersebut mereka jual di kota Agats.

Sore menjelang malam, mama-mama menjual ikan, udang dan kepiting di pasar, di kota Agats. Sebagian menjual hasil tangkapannya di pasar Mama-Mama di Jalan Muyu. Sebagian lainnya menjual di pasar ikan, yang bersebelahan dengan lapangan Yos Sudarso.

Mama-mama memperoleh uang ratusan ribu dalam sehari dari hasil berjualan ikan, udang dan kepiting. Dengan uang yang diperoleh, mama-mama membelanjakan kebutuhan rumah tangga: gula, kopi, beras, supermi. Tidak lupa selalu ada uang untuk beli pinang dan rokok.

Di Asmat, mama-mama makan pinang. Padahal tidak ada pohon pinang dan sirih di Asmat. Kalaupun ada pohon pinang dan sirih, buahnya terbatas. Tetapi, hampir semua mama-mama Asmat mengonsumsi pinang. Mama-mama mengonsumsi pinang kering. Bahkan tidak jarang kulit gambir pun dijadikan santapan pengganti pinang.

Kebiasaan mengonsumsi pinang memuluskan para pedagang mendatangkan pinang dari luar Asmat. Harga pinang kering per kilo gram mencapai ratusan ribu rupiah. Mama-mama biasa membeli pinang eceran. Harganya 5.000-10.000 per tumpuk.  

Kebiasaan mengonsumsi pinang sebenarnya merugikan mama-mama Asmat. Dari sisi kesehatan, mama-mama bisa menderita sakit kanker mulut karena kapur yang dikonsumsi bersama sirih-pinang. Dari aspek ekonomi, mama-mama telah menghabiskan uang untuk membeli sirih-pinang.

Mama-mama bisa tidak makan seharian karena sudah "kenyang" dengan pinang.  Kita bisa melihat di Agats atau di kampung-kampung, mama-mama Asmat tampak kurus. Mereka bekerja keras tanpa diimbangi dengan makanan bergizi. Ditambah lagi perilaku suka mengonsumsi pinang membuat mama-mama kehilangan nafsu makan.

Pinang menjadi "bius" untuk mama-mama Asmat melupakan sejenak beban kerja yang ditanggung. Sejak bangun pagi, mama-mama sudah sibuk di dapur: mencuci piring, bakar sagu atau masak nasi, cuci pakaian. Lalu, mama-mama Asmat akan pergi ke dusun atau kebun untuk mencari makanan. Di sana, mereka juga mencari kayu bakar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun