“...Interaksi dan dialog-dialog antariman tidak bakal mengaburkan iman dan hidup keberagaman siapa pun, melainkan akan lebih menguatkan dan memperteguh keyakinan imannya sendiri serta mendewasakannya sebagai seorang warga negara beradab yang paham konstitusi...” (Elga J. Sarapung, DIALOG, 100 Kisah Persahabatan Lintas Iman. Interfidei, 2014:16).
Senin, 25 Januari 2016, pukul 20.30 WIT, matahari sudah kembali ke peraduannya. Malam gelap menyelimuti kota Jayapura. Lampu-lampu jalan tidak sanggup menandingi pekatnya malam. Suara jangkrik dan penghuni malam lainnya hampir tak terdengar. Bising kendaraan mendominasi. Sekelompok anak muda menggunakan tiga buah angkot bergerak menuju mesjid Nurul Huda di Ekspo, Waena, kota Jayapura, Papua. Mereka adalah orang-orang muda, yang sedang belajar tentang perbedaan dan keberagaman. Mereka berasal dari sekolah tinggi teologi yang ada di kota Jayapura dan Sentani.
Para teolog muda ini hendak mengunjungi jemaah mesjid Nurul Huda. Mereka berasal dari denominasi Gereja yang ada di tanah Papua, Baptis, Kingmi, GKI, Adven dan Katolik. Empat peserta dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al Fatah, Jayapura adalah muslim. Saat tiba di kompleks mesjid, jemaah masih sholat. Peserta menunggu di tepi gang, di depan area mesjid. Beberapa saat kemudian, Nawir menuju sebuah bangunan yang menyatu dengan mesjid. Ia menemui ketua rukun tetangga (RT), yang juga pengurus mesjid, Bapa Arifin Sarean. Kami langsung dipersilakan masuk.
Pukul 19.43 WIT kami memulai percakapan. Nawir yang memulainya. Ia menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan para teolog muda yang sedang belajar tentang keberagaman dan perbedaan. Bahwa kunjungan ini untuk menjalin tali silaturahmi dan saling mengenal. Sementara itu, Ibu Elga J. Sarapung, direktur Institut Dian/Interfidei mengatakan bahwa perjumpaan ini dimaksudkan untuk saling membangun komunikasi dan dialog serta saling mengenal satu sama lain.
Menarik menyimak perjumpaan ini. Jemaah mesjid Nurul Huda menerima peserta denga penuh antusias. Bapa Arifin Sarean, ketua RT sekaligus pengurus mesjid mengatakan bahwa sebenarnya banyak jemaah mau hadir, tetapi pada saat bersamaan ada pengajian yang tidak bisa ditinggalkan sehingga hanya ada perwakilan.
Sesudah pengantar itu, peserta dan pengurus mesjid terlibat dalam dialog. Ada percakapan yang membuka wawasan masing-masing pihak. Daniel Wejasokani Goba, mahasiswa STFT Fajar Timur memulai percakapannya. “Kami ke PIR IV Arso. Hari itu, 1 Muharam. Sangat berkesan bagi saya. Kami dari GKI dan Katolik, ikut sholat di dalam mesjid. Ini sangat menarik. Saya mau tanya, mesjid Nurul Huda ada di sekitar kaum nasrani. Apa yang dilakukan pengurus supaya terjalin komunikasi, sehingga kaum nasrani lihat bahwa kita bersatu,” tanyanya. Atas pertanyaan ini, Bapa Arifin menjelaskan bahwa lingkungan mesjid menjadi tempat pelayanan posyandu. Banyak saudara-saudara dari gunung datang posyandu. “Kami membuka diri. Setiap ada kurban, tetangga yang non-muslim kami kasih daging kurban,” ungkapnya. Selain itu, mobil jenasah mesjid juga biasa dipakai bersama, termasuk yang non-muslim.
Zeth Wetipo mengajukan pertanyaan, apakah ada orang Wamena (khususnya di Uwelesi), yang menganut Islam menjadi jemaat Nurul Huda? Bapa Arifin menjelaskan bahwa tidak ada orang Uwelesi yang menjadi jemaah Nurul Huda, tetapi pihaknya tetap membantu saudara-saudara dari gunung yang hendak kembali ke daerahnya dan tidak memiliki uang tiket. “Contoh, ada masyarakat dari Uwelesi yang mau pulang tetapi tidak ada tiket, kami fasilitasi,” ungkapnya. Sementara itu, salah satu pengurus mesjid, yang pernah mengajar di pondok pesantren Al Istiqoma, Uwelesi, Waeman, (2012-2014) mengatakan, “Toleransi di sana sangat tinggi. Sejak saya datang, tidak pernah melihat konflik yang melibatkan agama. Konflik terjadi karena hal-hal lain. Saat saya di sana, kami bangun mesjid dan pihak gereja turut bantu mengangkat batu. Saat bangun gereja, kami juga membantu pembangunannya,” ungkapnya.
Percakapan makin akrab. Bapa Hasanuddin, salah satu jemaah mesjid Nurul Huda mengajukan pertanyaan, mengapa ada surat edaran dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) terkait pemakaian toa. Apakah toa mengganggu? Atas pertanyaan ini, Oliver Keizer Ibo, mahasiswa dari STT Adeven mengatakan bahwa saat dirinya dan kawan-kawan sedang kerja dan dengar suara adzan, menjadi penolong untuk mengingatkan waktu. Misalnya, mengingatkan waktu makan siang. “Saat bangun pagi dan malam waktu ibadah, siapa yang bangun duluan. Biasanya kami bangun duluan. Ada suara adzan yang bagus, sehingga kami terbawa. Kami biasa ikut, walaupun suara tidak bagus. Kami tidak mempermasalahkan toa,” ungkapnya. Bapa Arifin Saraen mengatakan memang seruan adzan harus merdu. Dalam panduan adzan syaratnya suara harus merdu, tetapi tidak ada larangan untuk adzan, sehingga siapa saja bisa mengumandangkan adzan. “Mesjid tidak pakai kunci, sehingga siapa saja bisa adzan. Di mesjid sini, yang adzan harus yang memiliki suara yang baik,” ungkapnya.
Rissa Johana Monim dari Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN), Burere, Sentani mengungkapkan kita sebenarnya satu pohon, tetapi bercabang. Dirinya sangat senang bergaul dengan sesama yang beragama Islam. “Waktu saya sakit, saya mendengarkan lagu-lagu Islam, misalnya lagu ‘Assalamualaikum’. Saya sangat terhibur dengan lagu itu. Walaupun kita berbeda, tetapi lagu itu sangat enak untuk didengar,” ungkapnya. Ia juga bertanya, apakah umat muslim ke Mekkah baru dapat gelar haji atau bagaimana? Bapa Hasannudin mengatakan bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam yang harus dilaksanakan. Haji bukan gelar. Panggilan haji merupakan tradisi sapaan di Indonesia. Dalam Islam, sapaan untuk pemimpin Islam itu Uztad dan Kyai. Gelar ini diberikan oleh jemaah berdasarkan akhlak dan amal saleh.
Christ Dogopia, mahasiswa STFT Fajar Timur mengajukan pertanyaan, bagaimana membedakan aliran-liran dalam Islam, muhamadiyah, suni, syiah dan lainnya? Bagaimana membedakan umat muslim? Hasanuddin menjelaskan bahwa Islam itu satu, tetapi organisasi yang berbeda. Bapa Arifin Sarean menambahkan bahwa dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari Islam harus berbaur, tetapi ada juga yang khusus, baju dan pakaiannya berbeda. Misalnya, jemaah Tablig. Ada juga Islam garis keras, misalnya FPI. Bisa dilihat dari cara pergaulannya. Jemaah lainnya menambahkan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin.