Catatan Refleksi
Saat bercerita dengan Daniel, saya ingat pesan Yesus kepada para murid-Nya, “Kamulah yang harus memberi mereka makan.” Saat ini para pemimpin agama-agama cenderung membangun gedung-gedung mewah dan melupakan penderitaan umatnya. Bangunan gedung menjadi prioritas, ketimbang manusia yang menderita. Pemimpin agama-agama belum peka terhadap penderitaan manusia.
Saya selalu berpikir sederhana saja. Kalau kita bisa bangun gedung-gedung mewah, mengapa kita tidak bisa menolong sesama umat manusia yang menderita. Mengapa banyak derma kita gunakan untuk membangun gedung ketimbang membantu mahasiswa-mahasiswa yang tidak memiliki uang semester? Banyak orang harus rela menjual tubuhnya untuk bisa makan dan minum dan untuk bisa sekolah. Kita tidak menolong mereka. Kita justru memberikan stigma buruk dan menghakimi mereka.
Sudah empat hari ini, kita belajar tentang mengelola keberagaman dan perbedaan. Intinya, kita saling mengenal, saling memahami dan saling membantu satu sama lain. Kita berjuang memulai suatu cara pikir dan cara hidup yang baru. Kita mau hidup dalam konteks dan realitas hidup kita. Bahwa masyarakat di sekitar kita adalah ruang bagi kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, sekecil apa pun itu.
Realitas sosial, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan dan pemerkosaan terhadap harkat dan martabat manusia harus sudah semestinya menggugah hati kita untuk melakukan perubahan. Kita tidak bisa tinggal diam dan mengatakan bahwa itu bukan urusan kita. Kemiskinan dan ketidakadilan harus dilawan.
Sebagai calon pemimpin umat, kita sedang disiapkan untuk menjadi pemimpin yang memiliki jiwa melayani. Kita dipanggil dan diutus untuk melayani. Apa pun agama dan budaya kita, pelayanan mutlak dilakukan, tanpa kecuali. Kalau kita menjadi pemimpin saja tidak cukup. Kita harus melayani umat manusia, tanpa memandang siapa dia.
Acapkali, kita tinggal di tempat-tempat mewah dan melupakan umat. Kita mengatakan bahwa mereka adalah umat kita, tetapi saat mereka mengalami penderitaan, kita menutup diri terhadap penderitaan mereka. Saat umat mengalami penderitaan dan datang, kita justru menolak mereka. Kalau kita sudah menolak mereka, ke manakah mereka mengadukan penderitaan mereka? Mereka mau berharap kepada siapa?
Perjumpaan kita ini merupakan rahmat, anugerah sang Pencipta. Kita belajar melatih kepekaan hati nurani kita. Kita belajar mengasah kemampuan untuk peka terhadap penderitaan sesama. Dalam hidup kita, bukan soal kita tidak memiliki sesuatu untuk menolong sesama, tetapi kita tidak menyediakan ruang dan waktu dalam hati kita untuk menolong sesama. Kita punya hati membeku dan tidak peka terhadap penderitaan sesama. Kita tidak mau sibuk menolong sesama. Kita mau cari aman untuk diri kita sendiri.
Kita harus berubah. Perjumpaan ini mengingatkan kita pertama-tama tentang martabat kita sebagai manusia yang berakal budi dan berhati nurani. Saya suka pada refleksi Emanuel Levinas. Dia bilang, “Saya merupakan sesama yang lain.” Sesama itu bukan orang lain, tetapi merupakan representasi dari hidup saya sendiri. Kalau kita menerima sesama sebagai bagian dari hidup kita, maka sudah semestinya kita berlaku adil terhadap sesama. Kita tidak bisa membiarkan mereka menderita. Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa kita makhluk sosial, tetapi kita membiarkan sesama menderita. Kita harus menolong sesama.
Kita berbeda. Kita memiliki perbedaan adat, budaya, agama, refleksi, pemikiran dan lain sebagainya. Apa pun perbedaan, kita tetap manusia. Kita adalah makhluk individu, tetapi juga makhluk sosial. Kita tidak bisa terlepas dari sesama. Coba kita bayangkan, kita hidup sendiri di satu ruang kosong. Apa arti hidup kita? Kita seperti ruang itu, hampa. Kita kosong di ruang kosong, tanpa makna.