Hari ini, Selasa, 26 Januari 2016, matahari terbit, menyinari kota Jayapura dan sekitarnya. Cuaca cerah. Angin pagi mengiringi kawanan pemuda yang sedang belajar tentang keberagaman dan toleransi di masyarakat Papua.
Hari ini merupakan hari kedua. Pukul 08.20 WIT, acara diawali dengan doa yang dipimpin oleh Delila Felle, peserta dari STAKPN Burere, Sentani. Selanjutnya, Wariben Wenda dari STT Baptis membawakan review singkat. Acara dilanjutkan dengan penjelasan dari Ibu Elga tentang rencana mengunjungi komunitas. Saya diberikan kesempatan untuk membagi kelompok. Hasilnya, ada tiga kelompok yang akan pergi ke komunitas Adven di Sentani, komunitas Majelis Muslim Papua (MPP) di Padang Bulan dan komunitas Lembaga Dakwa Islam Indonesia (LDII) di Entrop. Kelompok yang akan mengunjungi komunitas Adven dibatalkan karena sedang sibuk berkegiatan. Kelompok yang semula akan ke komunitas Adven berbaur dengan dua kelompok lainnya.
Sebelum ke komunitas-komunitas, peserta membagikan pengalaman mereka saat kunjungan ke mesjid Nurul Huda, Ekspo, Waena. Tampak bahwa setelah kunjungan semalam para peserta mengalami perubahan cara berpikir. Sebelumnya, peserta yang didominasi oleh pemuda Kristen belum pernah menginjakkan kaki di mesjid, tetapi melalui kunjungan ini mereka bisa bertemu dengan para uztad. Para peserta menyadari bahwa perjumpaan, interaksi dan dialog merupakan kunci untuk meretas toleransi. Melalui perjumpaan terjadi interaksi dan dialog. Perjumpaan semacam ini akan mendatangkan berbagai keprihatinan dan aksi kemanusiaan yang dapat dilakukan secara bersama.
Para peserta juga mengakui bahwa konflik agama seringkali terjadi karena adanya unsur politisasi terhadap agama-agama. Agama dipakai oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan diri mereka sendiri. Politisasi agama menjadi sumber konflik antara umat beragama. Oleh karena itu, semua pihak harus kembali ke hakikat ajaran agamanya, yang selalu mengajarkan kasih dan damai kepada semua makhluk.
Selanjutnya, Bapa Hardus Desa memberikan arahan kepada para peserta yang akan berkunjung ke komunitas MMP dan LDII. Para peserta diminta untuk mendengarkan dan belajar dari apa yang didengarkan. Selain itu, saat perjumpaan nanti, peserta menyampaikan maksud dan tujuan serta pertanyaan yang sesuai dengan proses yang sedang dijalani ini. “Kalian memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan kehadiranmu dan belajar untuk mengenal secara lebih dekat dengan komunitas yang kalian kunjungi,” ungkapnya.
Pukul 10.23 WIT, kelompok yang mengunjungi LDII berangkat ke Entrop. Ibu Elga, Bapa Hardus dan Reta ikut ke sana. Pukul 10.45 WIT, saya dan teman-teman kelompok berangkat ke MMP di kantor Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP). Kami tiba di kantor AlDP, ada abang Hamim. Beliau menerima kami dengan ramah. Kami menunggu kehadiran Bapa Thaha Al Hamid.
Pukul 11.39 WIT kami memulai percakapan. Ketua kelompok, Wariben Wenda membuka percakapan. Ia menjelaskan bahwa maksud kehadiran kami adalah hendak bertukar pengalaman dan mengetahui keberadaan dan peran Majelis Muslim Papua (MMP) dalam upaya membangun perdamaian di Papua. Bapa Thaha Al Hamid menyambutnya dengan senang hati.
Bapa Thaha Al Hamid menjelaskan bahwa dirinya bukanlah pengurus MMP. Ketua MMP adalah Bapa Robie A, anggota MRP Papua Barat. Sekjennya adalah Ibu Latifah Anum Siregar. Tetapi, beliau merupakan salah satu inisiator lahirnya MMP. “MMP lahir sebagai reaksi atas situasi konflik Ambon dan situasi politik serta keamanan di Papua. Semula bernama Solidaritas Muslim Papua. Pada muktamar pertama tahun 2007, diganti menjadi Majelis Muslim Papua,” ungkapnya.
MMP menjadi rumah bersama untuk Papua. MMP menganut prinsip dialogis, toleran, rahmatan lil alamin dan moderat. “Siapa saja bisa datang dan masuk ke rumah MMP yang penting sejalan dengan prinsip-prinsip dasar MMP,” ungkapnya. Ia menjelaskan bahwa setiap manusia, siapa pun wajib dan patut berperilaku baik, amal saleh dan melakukan karya kemanusiaan untuk siapa saja. “Bukan soal casing, tapi soal substansi,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa seringkali, hubungan agama-agama menjadi rusak karena orang tidak tahu dan juga minim komunikasi di antara para pemeluk agama. “Agama itu bukan identitas. Adat itulah identitas kita. Di dalam Islam diajarkan bahwa, ‘bagimu agamamu adalah agamamu, dan agamaku adalah agamaku. Setiap orang bebas memeluk agama, tanpa paksaan apa pun,” ungkapnya.
Percakapan dengan Bapa Thaha Al Hamid mengalir bagaikan air dari pegunungan menuju dataran rendah. Ia memberikan inspirasi dan semangat kepada para calon pemimpin umat di tanah Papua. Melalui perjumpaan singkat ini, para teolog muda Papua diundang untuk memberikan diri, melayani sesama tanpa batas dan tanpa memandang latar belakang suku, adat, budaya dan agama. Semua manusia perlu diterima, dihormati dan dilayani.