Hari ini, Jumat, 1 Januari 2016, segenap umat manusia merayakan tahun baru. Melepas tahun 2015 dan menyambut tahun 2016. Gegap gempita kembang api mewarnai lepas sambut tahun. Langit berubah menjadi merah. Asap mengepul. Sorak-sorai terdengar. Doa dipanjatkan agar tahun 2016 membawa berkat berlimpah.
Rakyat Papua turut merayakan kegembiraan pergantian tahun ini. Misalnya, di kota Jayapura dan Sentani rakyat menyambut datangnya tahun 2016 dengan pesta kembang api dan berbagai acara lainnya. Sesaat rakyat Papua di kota-kota melupakan penderitaan, duka-lara, kepedihan dan air mata. Sedangkan di kampung-kampung terpencil, air mata tetap mengalir seperti mata air.
Sampai hari pertama tahun 2016 ini, Papua sesungguhnya belum aman. Masih ada berbagai permasalahan yang menyebabkan Papua tetap bergejolak. Kita bisa menyebutkan beberapa permasalahan klasik Papua yaitu sejarah Papua, politik, pelanggaran hak asasi manusia dan pembangunan. Selain itu, masalah buruknya pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pengembangan ekonomi bagi orang asli Papua masih menyelimuti Papua.
Rangkaian permasalahan Papua, kemudian diredusir oleh pemerintah Indonesia sebagai masalah kriminal dan separatis. Akibatnya, pendekatan yang dilakukan terhadap Papua dan orang asli Papua bersifat represif. Militer Indonesia menjadi garda terdepan menjaga Papua agar tetap berada dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Tatkala kita mereview sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, kita menemukan bahwa sejak awal militerlah yang mengawal Papua menjadi bagian NKRI. Bahkan ketika Papua masih berada dalam status pemerintahan Hindia-Belanda, militer Indonesia sudah menyusup masuk ke Papua. Demikian halnya, ketika Papua berada dalam pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), militer Indonesia sudah menduduki Papua.
Menyimak sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, kita menemukan bahwa Papua masih berada dalam NKRI hanya karena kekuatan militer Indonesia, bukan kehendak orang Papua. Tentara Indonesia dengan berbagai daya upaya berjuang mempertahankan Papua supaya tetap bergabung dengan NKRI. Semboyan NKRI harga mati menjadi suluh yang menghanguskan ribuan jiwa orang Papua yang mau merdeka.
Saat ini, situasi keamanan (di) Papua tidak menentu. Acapkali terjadi saling membunuh di antara sesama manusia atas nama ideologi. Perbedaan ideologi NKRI harga mati dan Papua merdeka harga mati kian terbuka lebar. Hampir setiap hari terjadi kontak senjata antara militer Indonesia dan tentara pembebasan nasional organisasi Papua merdeka (TPN-OPM).
Konflik politik antara Indonesia dan Papua bukan baru terjadi. Konflik ini sudah terjadi jauh sebelum Papua diintegrasikan ke dalam NKRI. Salah satu sumber konflik adalah orang Papua mau merdeka. Bahkan orang Papua sudah merdeka pada 1 Desember 1961, tetapi kemerdekaan ini dicaplok oleh Indonesia. Inilah titik krusial permasalahan Indonesia dan Papua.
Sejak awal integrasi, pemerintah Indonesia sudah mengetahui bahwa sebenarnya orang Papua mau merdeka, tetapi Indonesia dengan segala daya upaya berjuang agar Papua menjadi bagian dari NKRI. Militer Indonesia menjadi garda terdepan dalam misi integrasi Papua ke dalam NKRI. Sampai saat ini, militer Indonesia masih setia menjaga Papua dalam bingkai NKRI, entah kapan mereka akan melepaskannya secara terhormat, tanpa pertumpahan darah.
Kini, orang Papua secara terang benderang berjuang untuk merebut kembali kemerdekaannya. Mereka berjuang melalui jalur diplomasi politik, gerakan-gerakan perlawanan di ruang-ruang publik dan juga operasi militer di belantara Papua. Mereka memiliki satu tekad dan tujuan yaitu memperoleh kembali kemerdekaannya yang sudah diproklamirkan pada 1 Desember 1961 silam.
Pada sisi lain, Indonesia tetap berjuang untuk mempertahankan Papua dengan kekuatan militer. Ribuan pasukan dikirim ke Papua. Markas-markas militer tumbuh subur di seantero tanah Papua. Untuk mengimbangi kekuatan militer, Indonesia menyisipkan pembangunan infrastruktur di tanah Papua. Pendekatan pembangunan hanya menjadi ‘bunga di taman’ untuk menutupi wajah militeristik yang diterapkan di Papua.