Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah di Tepi Pantai Bukisi, Papua

13 Desember 2015   05:07 Diperbarui: 13 Desember 2015   05:07 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


[Pantai pasir putih, kampung Bukisi, distrik Yokari, kabupaten Jayapura, Papua]

Jumat, 11 Desember 2015, menjelang malam, kami berdiri di tepi pantai Bukisi, distrik Yokari, kabupaten Jayapura, Papua. Desiran ombak mengiringi kisah tentang badai melawan korupsi dan ketidakadilan. Sang mentari pun beranjak ke peraduannya. Datanglah malam gelap, persis seperti kisah kelam negeri ini yang sedang kami diskusikan. 

Kami tidak berbicara tentang agama. Kami juga tidak berbicara tentang Tuhan. Kami berbicara dan berbagai pengalaman tentang perjumpaan kami dengan realitas sosial, khususnya tata kelola pemerintahan di negeri ini yang sangat bobrok. Kami berdiskusi tentang minimnya rasa solidaritas di antara sesama umat manusia. Saya berujar, “Kita menyaksikan para pejabat di Papua tinggal di rumah~rumah mewah. Mereka tidur nyenyak di istana mewah dan melupakan penderitaan rakyatnya.” 

Kawan yang dari Jakarta ini berkata, “Kita juga bisa lihat, misalnya di Jakarta ada pegawai yang baru satu dua tahun bekerja, maunya punya mobil. Segala cara digunakan untuk mendapatkannya. Padahal, sebenarnya mereka bisa naik angkot, kereta api atau taxi. Kebutuhan keluarga bisa menuntut orang melakukan korupsi. Bagi saya, hal ini terkait gaya hidup.” Ia meneruskan, “Bangsa ini sudah rusak. Mungkin sebaiknya, semua orang mati saja dulu. Sisakan bayi-bayi, sehingga mereka bertumbuh dan memulai yang baru lagi,” ujarnya. 

Kami hanyalah sebagian kecil orang ‘gila’ yang pada masa ini mau melawan arus ketidakadilan dan korupsi. Saya kembali mengatakan, “Kita hanya boleh menerima dari apa yang menjadi hak kita. Bagaimana mungkin kita mengambil hak sesama dan mengklaimnya sebagai hak milik kita?” Ketidakadilan dan korupsi terjadi karena manusia serakah. Manusia tidak pernah puas dengan miliknya. Manusia mencari kenyamanan dengan mengorbankan sesamanya. 

Pantai pasir putih Bukisi menjadi saksi bisa sharing pengalaman ini. Kami yakin bahwa untuk melawan arus birokrasi pemerintahan yang bobrok tidak mudah. “Tetaplah bertahan dan jadilah garam,” ujarku kepadanya. Dia pun menjawab, “Bukan saya yang menggarami, justru digarami oleh sistem yang bobrok itu,” jawabnya. Walaupun demikian, kami memiliki niat untuk melawan sistem yang bobrok itu. 

Saya senang berjumpa dengan kawan yang memiliki jiwa tranformatif ini. Dia salah satu perempuan hebat yang saya jumpai. Kami bisa berdiskusi dan berbagai pengalaman tentang hidup dan masa depan manusia. Walaupun kami berbeda dalam banyak hal, tetapi nilai-nilai universal manusia, cinta kasih, pengorbanan, keadilan, kebenaran dan solidaritas mempererat persaudaraan di antara kami. Kawan ini, memiliki jiwa melayani. Saya yakin pada waktunya dia akan menjadi pemimpin yang hebat, bukan karena dia duduk di sofa empuk, tetapi karena dia pergi ke lorong-lorong negeri ini dan menyapa segenap umat manusia yang dilayaninya. Kepadanya saya titipkan pesan dari sang guru kebijaksanaan, “Kalau Aku yang kalian sebut Guru dan Tuhan membasuh kakimu, maka kamu juga harus melakukan hal yang sama.” Semoga melalui pengalaman melawan arus dan badai di birokrasi itu, kelak dia menjadi pemimpin yang bisa membuat perubahan di lembaga negara itu. Semoga kelak dia bisa menjadi pelayan sebagaimana yang diminta oleh sang Guru.

Tidak terasa, kami berdiri  di tepi pantai sudah hampir satu jam lebih. Sang mentari sudah kembali ke peraduannya. Suasana kampung kian gelap. Binatang malam mengeluarkan seruan. Nyamuk pun mulai menyengat tubuh. Kami kembali ke penginapan persis di tepi pantai itu. Kami beristirahat dan berharap hari esok menjadi lebih baik. 

 

Selamat merayakan hari hak asasi manusia internasional, 10-12-2015. 

Semoga martabat manusia makin dihormati dan dijunjung tinggi.

 

[Abepura, Minggu, 13 Desember 2015, pukul 06.37 WIT]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun