Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tolikara VS Berita Sampah

22 Juli 2015   05:20 Diperbarui: 22 Juli 2015   05:20 2163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa kerusuhan di Karubaga, kabupaten Tolikara, pada 17 Juli 2015 menyita perhatian segenap warga Indonesia. Perselisihan, yang berujung pada penembakan terhadap orang Papua dan pembakaran pasar menjadi pembicaraan banyak pihak. Apa lagi, sebuah mushola yang berdiri di area pasar turut terbakar bikin suasana makin riuh. Media massa memberitakan berbagai informasi simpang-siur. Bahkan ada yang menggiring opini publik kepada isu SARA.  Padahal, kerusuhan bermula ketika ada tembakan kepada massa yang melakukan protes. Entah, sampai saat ini pihak berwajib belum memberikan pernyataannya, terkait siapa sebenarnya dalang peristiwa memilukan itu. 

Media massa hanya fokus memberitakan mushola yang ikut terbakar. Akibatnya, muncul berbagai reaksi spontan dari berbagai pihak di luar Papua, yang mengecam bahkan mengancam akan menghancurkan orang Papua dan kaum nasrani. Bahkan di Jawa ada gereja yang coba dibakar. Ada juga mahasiswa Papua yang dianiaya. Media massa meretas jalan menuju kehancuran Indonesia dan Papua. Sentimen dan dendam mulai ditaburkan. 

Ironisnya, orang Papua yang mati ditembak tidak dihiraukan. Orang Papua yang luka-luka diterjang timah panas kurang mendapatkan perhatian. Media massa lebih tertarik pada isu sensitif dan murahan yang bisa memecah-belah persatuan dan kesatuan umat manusia. Seyogianya, media massa memberikan kesejukan, bukan sebaliknya memprovokasi keadaan, sehingga menjadi makin rumit. 

Peristiwa Tolikara sesungguhnya adalah peristiwa kemanusiaan. Ada manusia yang mati tertembak dan sebagiannya luka-luka. Mereka ini sangat menderita. Kios-kios para pedagang terbakar. Tempat usaha untuk mencari sesuap nasi sudah tidak ada. Mereka ini juga sangat menderita. Baik orang Papua yang tertembak, maupun kaum pendatang yang kiosnya terbakar sama-sama menderita. Mereka menjadi korban dari sistem negara yang bobrok dan tidak adil.

Ironisnya, media massa cenderung mencari sensasi, ketimbang menyampaikan realitas sesungguhnya. Media massa rela menggadaikan kode etik jurnalistik demi mengejar rating pembaca, tanpa memperhatikan kualitas informasi yang diberikan kepada publik. Belajar dari pengalaman Tolikara, insan pers perlu berbenah diri. Sudah waktunya jurnalistik mengedepankan kode etiknya ketimbang mengejar sensasi di mata publik. Media massa harus memberikan pembelajaran dan pencerahan, bukan provokasi. 

Ada banyak berita sampah yang disajikan untuk publik. Berita yang tidak punya sumber data dan informasi valid. Berita-berita copy paste, tanpa sumber dan rujukan yang jelas. Berita semacam ini bikin suasana tegang di mana-mana. Kebencian terhadap orang Papua dan kaum nasrani meningkat tajam. Misalnya, ada ancaman dan teror untuk orang Papua di beberapa wilayah pulau Jawa sebagai reaksi balas dendam. 

Padahal, kalau mau jujur, orang Papua di Tolikara adalah manusia ramah. Manusia bermartabat. Manusia berhati mulia. Mereka menerima orang pendatang untuk buka kios dan bikin usaha. Mereka terima sesama beragama Islam untuk mendirikan mushola dan melaksanakan ibadah. Puluhan tahun mereka hidup rukun dan damai. Mengapa baru kali ini terjadi gesekan seperti itu? Siapa aktor intelektualnya? Apa motifnya? 

Seperti pepatah kuno: “Nila setitik rusak susu sebelanga”. Itulah Tolikara. Kerukunan, kedamaian dan persaudaraan yang dirajut selama ini hancur seketika. Provokator bikin ulah. Media massa tambah bikin panas. Akibatnya, orang Papua dan kaum nasrani disudutkan secara tidak adil. Di manakah keadilan untuk mereka? Di manakah keadilan untuk mereka yang mati ditembak? Di manakah keadilan untuk mereka yang menderita karena ditembak? Jangan sampai kita terjebak dalam fanatisme sempit dan mengabaikan nilai dan martabat manusia. 

Kita semua manusia. Kita boleh berbeda budaya, suku, adat dan agama, tetapi kita sama-sama manusia. Kita berasal dari Pencipta yang sama. Kita bersimpati untuk semua korban, baik yang tempat usahanya terbakar, tetapi juga untuk mereka yang mati dan luka-luka karena ditembak. Ukuran kemanusiaan dan martabat kita adalah saat kita mengasihi, mengampuni dan menerima sesama melampaui segala perbedaan. Itulah martabat kita. Bukan sebaliknya, menghina apa lagi merendahkan martabat sesama. 

Mari bersatu membangun kembali Tolikara. Kita dapat menyumbangkan potensi yang ada pada kita. Salah satunya, dengan memberikan informasi dan berita yang baik dan benar, bukan berita sampah dan provokatif. 

Salam perubahan ke arah yang lebih baik untuk Tolikara [Kamp Cina, 22 Juli 2015; pk 07.00 WIT]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun