Indonesia, negara yang menempatkan Tuhan pada sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa” masih mempraktekkan hukuman mati. Indonesia mengakui adanya agama dan kepercayaan terhadap sang Pencipta, justru memberlakukan hukuman mati yang bertentangan dengan dasar negara. Membunuh manusia untuk mengatasi persoalan bukan solusi yang manusiawi. Ketika kejahatan narkoba dilawan dengan hukuman mati, maka hanya akan menimbulkan kejahatan baru. Tidak ada efek jera yang lahir dari hukuman mati. Ketika nurani sudah tumpul, kejahatan tidak terelakkan. Karena itu, yang dibutuhkan adalah pendidikan mental, moral dan spiritual untuk membangun kesadaran warga untuk bersama-sama memerangi narkoba mulai dari dalam diri sendiri.
Jokowi secara tegas menolak grasi yang diajukan para terpidana mati karena kasus narkoba. Dengan nada tegas dan senyum angkuh ia menyatakan bahwa tidak ada pengampunan bagi para pengedar narkoba. Kita sadar bahwa narkoba merusak masa depan bangsa dan negara. Kejahatan narkoba harus dilawan. Tetapi, tidak harus dengan hukuman mati. Masih terlalu banyak cara untuk mengatasi kejahatan narkoba. Cara paling efektif adalah melakukan tindakan preventif melalui penyuluhan berkelanjutan tentang bahaya narkoba.
Hukuman mati, seperti yang dipertontonkan Indonesia saat ini hanya memperlihatkan sikap angkuh para pempimpin negeri ini. Siapakah kita sehingga berani menghakimi bahkan memvonis mati sesama? Kita yakin bahwa hidup berasal dari Allah, sang Pencipta, tetapi pada saat yang sama mengambil nyawa sesama. Hukuman mati hanya menunjukkan bahwa manusia terlalu rapuh dalam mengatasi permsalahan sosial di tengah masyarakat. Di balik ketegasan untuk memberantas narkoba dengan menghukum mati para terpidana narkoba tersirat kerapuhan manusia yang mendalam.
Hidup sangat mulia. Bahkan hidup itu milik Allah. Tidak seorang pun, dengan alasan apa pun mengambil nyawa sesamanya. Ironinya, Indonesia, negara yang menerima dan mengakui Tuhan, tetapi berani membunuh warganya dan warga negara asing yang terjerat kasus narkoba. Indonesia sebernarnya menipu dirinya sendiri. Sesungguhnya, nurani pemimpin Indonesia sudah lebih dahulu mati.
Efek jera, menjadi alasan melakukan eksekusi mati. Tetapi, apakah setelah para terpidana mati narkoba dihukum mati, apakah kejahatan narkoba berkurang? Justru narkoba semakin merajalela. Narkoba merasuki jiwa anak-anak, orang muda, dewasa, bahkan orang tua dengan berbagai profesi. Hukuman mati yang dipraktekkan tidak menunjukkan efek jera apa pun. Situasi ini menandakan bahwa kejahatan narkoba tidak bisa diatas dengan urusan hukum dan hukuman mati.
Narkoba merupakan masalah moral hidup. Ketika manusia memiliki moral baik, maka dengan sendirinya akan terhindar dari narkoba. Sebaliknya, jika manusia memiliki moral buruk, maka akan selalu mengarahkan diri ke perbuatan negatif, salah satunya menggunakan narkoba. Kalau lingkungan masyarakat sudah hamburadul, kemungkinan orang mengkonsumsi narkoba sangat tinggi. Narkoba dilihat sebagai pilihan terakhir untuk lari dari kenyataan hidup yang pahit.
Untuk memerangi narkoba dibutuhkan kerjasama semua pihak, mulai dari keluarga-keluarga, sekolah, kampus dan lingkungan masyarakat. Sejak dini, dalam keluarga perlu memberikan pengertian dan pemahaman kepada anak-anak tentang bahaya narkoba. Anak-anak perlu dididik supaya tidak terjerumus ke dalam dunia gelap seperti seks bebas dan pemakaian narkoba. Keluarga juga harus menjadi tempat yang aman bagi anak-anak supaya bisa bertumbuh dengan baik. Sekolah dan kampus perlu memberikan pendidikan nilai dan spiritulitas yang memadai agar peserta dididik belajar menjadi pribadi-pribadi cerdas ketimbang terlibat dalam pergaulan bebas dan konsumsi narkoba. Masyarakat mulai dari lingkup terkecil, rukun tetangga (RT), rukun Warga (RW), desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten dan provinsi perlu menerapkan wilayahnya sebagai area bebas narkoba. Hal ini sangat penting untuk mendidik warga masyarakat tidak terlibat dalam bisnis narkoba yang sangat menjanjikan, tetapi merusak hidup dan masa depan manusia.
Pengedar dan pengguna narkoba adalah manusia yang memiliki masalah tersendiri. Mereka melakukan tindakan tersebut, karena berbagai faktor yang ada di baliknya. Ada berbagai pergumulan yang menyebabkan mereka terlibat dalam jaringan narkoba. Hal-hal semacam ini yang perlu digali dan dicarikan alternatif penanganannya, bukan sebaliknya menghukum mati.Pengedar dan pengguna narkoba sudah mengalami penderitaan yang menjerumuskan mereka ke dalam dunia gelap itu justru diganjari lagi dengan hukuman mati. Bukankah sebaliknya mereka harus ditolong untuk bisa keluar dari kegelapan yang sedang mereka alami itu?
Tinggal sesaat saja sepuluh orang terpidana mati kasus narkoba akan menghadapi regu tembak di Nusakambangan. Saat ini mereka sudah masuk sel isolasi. Mereka sudah mempersiapkan diri menghadapi maut. Pendamping rohani memberikan peneguhan dan pengharapan kepada mereka. Tetapi, tidak akan pernah menyelematkan hidup mereka dari regu tembak yang telah siap dengan senapan di tangan. Rasa sesal dan tobat yang mereka lakoni puluhan tahun seakan-akan tidak membuahkan hasil.Pertobatan dan hidup baik yang dijalani dengan tekun tidak mampu meluluhkan hati Jokowi untuk memberikan pengampunan. Mereka terlanjur mendapatkan stigma negatif sebagai penjahat yang harus dihukum mati.
Hukuman mati yang dilakukan kali ini menjadi catatan sejarah hitam Indonesia. Setelah menerima berbagai protes dari berbagai negara asal terpidana, bahkan oleh sekretaris jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia tetap membunuh para gembong narkoba tanpa ampun. Hukum perlu ditegakkan, tetapi bukan dengan cara membunuh para pelakunya. Mereka manusia biasa yang pernah tersesat dan sedang berusaha kembali ke jalan yang benar. Mengapa ketika mereka berniat untuk kembali ke jalan yang benar, justru harus menghadapi maut?
Indonesia mengakui Tuhan di atas segalanya, tetapi masih menerapkan hukuman mati. Padahal, hidup dan mati diyakini ada di tangan Tuhan. Ketika Indonesia dengan kebijakan hukuman matinya masih berlaku, maka sebenarnya mengingkari dasar negara Pancasila yang menempatkan Tuhan di atas segalanya. Perlu ada refleksi hukum yang mendalam, bahwa hukum hakikatnya memberikan hidup dan kebebasan bukan sebaliknya membunuh sesama manusia. Apa pun salah dan dosa seseorang, manusia tidak layak membunuhnya, sebab hidup milik Tuhan. Hanya Tuhan yang boleh mengambil nyawa manusia.
Abepura, 29 April 2015
Saat mengenang delapan manusia yang dihukum mati oleh Indonesia
di Nusakambagan, Cilacap
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H