Selama dua periode berturut-turut (2004 dan 2009), rakyat Indonesia bersorak-sorai menyambut kemenangan Partai Demokrat (PD) dan pendiri partainya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) naik takhta Presiden Republik Indonesia. Rakyat Papua, yang sejak 1 Mei 1963, diklaim sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) turut terbuai oleh kemenangan PD dan SBY. Harapannya, di bawah kepemimpian SBY, Papua mengalami perubahan ke arah yang lebih baik: rakyat sejahtera dan Papua menjadi tanah damai.
Impian tersebut tak kunjung nyata. Upaya riil yang diperjuangkan para tokoh Papua, untuk meretas jalan perdamaian di tanah Papua melalui jalur dialog Jakarta-Papua tidak direspon oleh SBY selama sepuluh tahun (2004-2014). SBY justru bikin apa yang tidak dibutuhkan rakyat Papua, yakni unit percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Dialog dilupakan SBY.
Dalam berbagai kesempatan, SBY bilang hendak bangun Papua dengan hati. Ia mau mendengarkan suara rakyat Papua. Ia mau buat kebijakan yang kontekstual dengan situasi yang sedang dihadapi orang Papua. Namun, sampai pemerintahannya akan berakhir pada Juli mendatang, tidak ada tanda-tanda bahwa SBY akan membuka ruang dialog dengan orang Papua.
Upaya dialog Jakarta-Papua yang diperjuangkan rakyat Papua, melalui tokohnya, Neles Tebay dan Muridan Widjoyo tidak menemui titik terang sampai Muridan meninggal dunia pada Februari lalu. Bukan hanya Muridan yang berjuang sampai nafas terakhir. Ada begitu banyak rakyat Papua yang mati karena berjuang untuk penegakkan hak asasi manusia di tanah Papua. Sebagian lagi dimasukkan ke dalam penjara. Mereka itu,Filep Karma, Domin Sorabut, Forkorus Yaibosembut, dan kawan-kawan lainnya.
Seandainya, SBY berani membuka ruang dialog, diyakini suasana chaos di Papua akan segera berakhir. Masalah di Papua sangat kompleks. Ada masalah sejarah, politik, pembangunan, diskriminasi dan marginalisasi orang Papua, pelanggaran hak asasi manusia, imigran, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Berbagai masalah ini sudah sejak lama diidentifikasi dan disebut sebagai simpul-simpul yang menyebabkan Papua tidak damai. Mengingat rumitnya situasi di Papua, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh Gereja dan pimpinan agama lainnya, para pemuda, mahasiswa dan para aktivis minta dialog Jakarta-Papua.
Di dalam dialog, orang Papua bercerita tentang pengalaman eksistensialnya selama ini. Orang Jakarta pun boleh bercerita berbagai alasannya memberlakukan kebijakan-kebijakan diskriminatif dan represif terhadap orang Papua. Perjumpaan antara Jakarta-Papua dalam dialog yang bermartabat akan melahirkan aneka kebijakan yang tepat untuk orang Papua. Bisa dianalogikan, dialog ibarat dokter yang melakukan diagnosa terhadap pasiennya.
Sangat disayangkan, selama sepuluh tahun memimpin Indonesia, SBY menutup mata, telinga dan hati terhadap seruan orang Papua minta dialog Jakarta-Papua. SBY bikin macam-macam satgas untuk membendung suara orang Papua yang minta dialog. Itu terlihat jelas melalui bertambahnya pos-pos militer, pembatasan kebebasan berekspresi (mahasiswa yang berdemo ditangkap dan disiksa oleh polisi). Ada juga satga UP4B. Di masa akhir jabatannya, SBY kasih lagi gula-gula yang bernama: ‘tuan rumah PON XX tahun 2020’. Lukas Enembe juga sudah serahkan draft undang-undang pemerintahan Papua yang akan dibahas kembali oleh SBY dan para pembantunya. Orang Papua tidak butuh semua itu. Alasannya sederhana saja, saat ini yang dibutuhkan adalah dialog Jakarta-Papua. Aneka kebijakan apa pun yang akan diberlakukan di tanah Papua harus lahir dari dialog. Jakarta tidak bisa secara sepihak memberikan ini dan itu untuk orang Papua.
SBY tipu orang Papua. Ia buat kebijakan yang tidak dibutuhkan orang Papua. Ia sudah janji bahwa akan bangun Papua dengan hati, tetapi dalam prakteknya tidak ada. Dialog merupakan alternatif penyelesaian Papua diabaikan. Selama sepuluh tahun SBY jadi presiden, Papua tidak mengalami kemajuan. Konflik dan kekerasan tetap tumbuh subur. Setiap hari ada orang Papua yang mati dibunuh TNI dan polisi.
Bukan itu saja, orang Papua juga mati karena malaria, AIDS dan gizi buruk. Anak-anak Papua tidak bisa sekolah. Hutan habis dibabat. Emas dan tembaga dikeruk tanpa henti. Minyak bumi dikuras. SBY buta dan tuli sehingga tidak bisa lihat dan dengar jerit penderitaan orang Papua. Di manakah janji SBY untuk bangun Papua dengan hati? Sekali lagi, SBY tipu orang Papua.
SBY mengkhiri jabatannya sebagai presiden RI dengan janji kosongnya bagi orang Papua. Hal ini mengingatkan orang Papua, bahwa sejak Soekarno hingga SBY, hanya ada janji-janji kosong, kecuali almarhum Wahid, yang berani mengembalikan nama Irian menjadi Papua. Wahid pula yang mengijinkan bintang kejora berkibar di samping bendara merah putih.
Meskipun SBY sudah ingkar janji, orang Papua tetap pada pendiriannya, yakni memperjuangkan penegakkan demokrasi dan hak asasi manusia di tanah Papua melalui jalur dialog bermartabat. Bukan zamannya lagi angkat senjata dan saling membantai. Sebagai manusia bermartabat, orang Papua mau tunjukkan bahwa mereka cinta damai. Hanya saja, Indonesia masih ragu dan takut terhadap dialog. Padahal, dialog adalah jalan penyelesaian masalah yang paling bermartabat.
Semoga perjuangan dialog Jakarta-Papua tidak padam. Walaupun orang Papua ditipu dari zaman ke zaman, dari presiden ke presiden, tetapi semangat menegakkan keadilan, kebenaran dan perdamaian di tanah Papua, melalui jalur dialog tidak akan pernah padam. SBY boleh tipu orang Papua, tetapi itu tidak akan memadamkan semangat orang Papua untuk terus memperjuangkan dialog Jakarta-Papua.
Abepura, 11 April 2014; 08.35 WIT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H