Papua sangat terkenal dengan kekayaan alam yang melimpah, tetapi juga sebagai daerah konflik. Sejak diintegrasikan ke dalam NKRI melalui legitimasi penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969, sampai saat ini masalah Papua tidak kunjung henti. Mengapa Papua terus bermasalah?
Untuk mencari simpul-simpul yang menyebabkan Papua terus bermasalah, sekaligus mencarikan alternatif penyelesaiannya, maka banyak pihak menyuarakan ide dialog damai antara pemerintah Indonesia di Jakarta dan orang Papua. Berangkat dari niat baik dan upaya tersebut, maka dikenal istilah dialog Jakarta-Papua. Usaha ini mula-mula diperjuangkan oleh Pater Neles Tebay, Pr dan Muridan S. Widjojo. Melalui kerja keras kedua tokoh tersebut, kini ide dialog Jakarta-Papua menjadi akrab di telinga setiap orang Papua dan Indonesia. Namun, jalan menuju dialog itu belum menemui titik terang. Walaupun demikian, upaya ke arah dialog tidak pernah padam.
Tokoh adat, agama, masyarakat dan intelektual Papua selalu menyuarakan dialog Jakarta – Papua. Ada banyak agenda dilakukan mulai dari diskusi kelompok, seminar dan cerita lepas tentang ide dialog. Tidak ketinggalan sejumlah orang muda Papua, yang tinggal di kota Jayapura pun terlibat aktif menyuarakan dialog damai antara pemerintah Jakarta dan orang Papua. Kelompok orang muda ini menamakan diri Simpul Mahasiswa Peduli Damai (Simpeda) Papua dan Pelajar Penabur Damai (Papeda) Community. Mereka berkumpul secara rutin setiap bulan di rumah ilalang (institut toleransi, keberagaman dan pelestarian lingkungan). Mereka mulai sejak tahun 2012 silam. Hasilnya menakjubkan. Kini sudah ada draft buku tentang: “Papua Tanah Damai: Kita Bisa Bikin Apa?” Uniknya, mereka ini adalah mahasiswa dan para pelajar SMA/SMK dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah dengan latar belakang suku, budaya, adat-istiadat dan agama yang berbeda. Tetapi dari keberbedaan mereka ini lahir cita-cita mulia yakni mengupayakan perdamaian di tanah Papua. Dan orang-orang muda ini sepakat bahwa jalan menuju perdamaian di tanah Papua adalah jalan dialog, bukan kekerasan dan intimidasi.
Pada Sabtu, 31 Mei 2014, saya mengikuti diskusi bersama orang muda yang tergabung dalam Simpeda Papua di kantor ilalang, Perumnas III Waena. Saya menyaksikan secara langsung bagaimana orang muda yang berbeda-beda itu bicara tentang Papua. Bagaimana cara pikir mereka tentang menyelesaikan berbagai konflik di tanah Papua. Ada sharing pengalaman, tukar pikiran dan saling memberikan informasi. Semua dilakukan dengan santai dan rileks, tanpa beban. Kemauan orang muda Papua untuk kumpul dan bicara tentang dialog dan Papua tanah damai memberikan perspektif tersendiri dalam upaya memperjuangkan dialog antara pemerintah Jakarta dan orang Papua.
Orang muda Papua menyadari situasi terkini di Papua yang dilanda berbagai macam konflik karena perbedaan ideologi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Bukan itu saja, mereka juga sadar bahwa peran negara Indonesia di Papua, dalam hal ini TNI, Polri dan pegawai pemerintah, yang seyogianya melayani, menyejahterakan, memberikan rasa aman kepada semua warga negara masih merupakan harapan belaka tanpa realisasi konret. Masih terlalu banyak ketimpangan birokrasi yang perlu dibenahi. Bukan itu saja, warga masyarakat yang tinggal di Papua, baik orang asli Papua maupun pendatang juga perlu melakukan kontrol sosial terhadap para penyelenggara negara di Papua supaya proses pelayanan publik dapat berjalan dengan baik.
Sekali lagi tentang dialog, segenap masyarakat yang tergabung dalam lembaga adat, agama, paguyuban, pemuda dan segenap elemen masyarakat perlu melakukan terobosan untuk menyuarakan perdamaian di tanah Papua. Setiap lembaga perlu memainkan peran dan tanggung jawabnya untuk mendorong pihak-pihak terkait supaya segera menggelar dialog Jakarta-Papua. Upaya sederhana yang dapat dan mungkin dilakukan adalah bicara tentang dialog damai ini, mulai dari dalam keluarga, lingkungan sekitar: RT/RW. Dialog Jakarta Papua harus menjadi usaha bersama demi perdamaian di tanah Papua.
Dalam diskusi yang digelar di rumah ilalang ini, orang muda Papua sepakat dan berkomitmen untuk senantiasa menyuarakan dialog Jakarta-Papua demi perdamaian di tanah Papua. Memang disadari bahwa upaya dialog ini tidak mudah digelar karena ada banyak kepentingan negara Indonesia dan sebagian orang Papua, tetapi juga tidak mustahil dilakukan kalau setiap pribadi, baik yang ada di Jakarta maupun Papua memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah Papua.
Ketika pertama kali ikutserta dalam diskusi ini, saya menemukan kepolosan dan kejujuran nurani yang muncul dari raut wajah orang-orang muda ini. Mereka mengungkapkan sejumlah realitas bobrok yang sedang berlangsung di tanah Papua, sekaligus memberikan tawaran solusinya. Apa saja pengalaman eksistensial dan ungkapan hati mereka tentang upaya perdamaian di tanah Papua dapat ditemukan di dalam buku dengan judul: “Papua Tanah Damai: Kita Bisa Bikin Apa?” yang akan segera diterbitkan dalam waktu dekat oleh ilalang.
Semoga cerita ringan tentang orang muda bicara dialog dan perdamaian ini, menginspirasi banyak orang dan pihak-pihak terkait untuk terlibat dalam upaya perdamaian di tanah Papua. Dan jalan menuju perdamaian itu adalah jalan dialog: jalan yang membuka pintu ruang gelap Papua menuju terang; jalan yang memberikan pengharapan bagi orang Papua yang putus asa; jalan yang memberikan hidup baru bagi setiap orang yang menderita dan terpinggirkan di tanah Papua. Dialog adalah jalan: jalan menuju perubahan Papua ke arah yang lebih baik: hidup damai dan sejahtera di atas tanah Papua.
Abepura, 1 Juni 2014; 10.09 WIT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H