Tanggal 20 Oktober 2014, SBY akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia. Selama sepuluh tahun berkuasa, SBY menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lantaran dianggap berhasil membangun Indonesia, SBY pun dianugerahi berbagai penghargaan dan julukan. Di antara berbagai julukan itu, yang paling menonjol adalah SBY dikenal sebagai ‘bapak demokrasi’. Berbagai terobosan yang dilakukan oleh SBY selalu diklaim melibatkan rakyat. Rakyat ikut serta dalam pembangunan dan proses demokrasi.
Orang Papua, yang saat ini masih menjadi bagian dari Indonesia kurang merasakan kebijakan SBY selama memimpin Indonesia. Selama sepuluh tahun, SBY tidak berhasil menyakinkan orang Papua, bahwa mereka adalah bagian integral Indonesia. Orang Papua kurang mendapat perhatian penuh. Pemerintahan yang dipimpin SBY hanya menguras kekayaan alam Papua dan melegalkan bertambahnya jumlah pasukan militer di tanah Papua.
Eksploitasi sumber daya makin marak di tanah Papua. Hutan dibabat dan dikonversi dengan sawit dan berbagai tanaman industri lainnya. Kayu dicuri. Ikan dicuri. Satwa langkah pun dibawa ke luar Papua. Masyarakat pemilik hak ulayat diabaikan. Tambang, minyak dan gas alam pun dikeruk tanpa henti. Untuk mengamankan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbendung itu, maka pasukan militer pun didatangkan ke tanah Papua. Atas nama menjaga keutuhan NKRI, kehadiran militer di tanah Papua tidak dapat dihindari.
Ketika orang Papua menyuarakan ketidakadilan dan dominasi militer, suara mereka dibungkam. Bahkan seringkali, orang Papua yang lantang memperjuangkan keadilan dan hak-haknya dilenyapkan, tanpa jejak. Sebagian lainnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dan sebagian lainnya terpaksa lari ke hutan atau mencari suaka di negeri orang.
SBY tutup mata dan telinga terhadap jerit penderitaan orang Papua. SBY malas tahu tatkala menyaksikan berbagai macam gejolak sosial di tanah Papua. Di akhir masa kepemimpinan SBY, suasana di Papua kian memanas, mulai dari baku tembak antara TNI-Polri dengan kelompok pro-Papua merdeka, sampai konflik horisontal, seperti yang terjadi di Sorong, Manokwari, Keerom, Timika dan Wamena.
Ketika menyaksikan semua peristiwa ini dan sikap SBY yang diam saja, semakin menguatkan argumentasi dan pendapat publik bahwa SBY tidak peduli pada orang Papua. SBY dan pemerintahannya hanya membutuhkan kekayaan alam Papua. Sementara orang Papua tidak mendapat tempat di hatinya.
Memang ada sejumlah kebijakan yang dibuat SBY untuk Papua, misalnya unit percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), tetapi hanya di atas kertas. Kebijakan ‘setengah hati’ ini kurang memberikan dampak positif bagi perlindungan terhadap orang Papua. Otonomi khusus pun tidak diberikan sepenuh hati, karena kebijakan strategis masih dipegang oleh pemerintah pusat. Bahkan otsus diredusir hanya sampai kepada aliran dana triliunan rupiah ke tanah Papua. Tetapi, dana tersebut untuk orang Papua yang mana? Kenyataannya orang Papua masih tetap menderita, bahkan lebih menderita dari sebelum pemberlakuan otsus.
Segenap orang Papua, bisa menyaksikan bahwa mereka terasing di atas tanahnya sendiri. Contoh paling konkret dan sederhana adalah sampai saat ini, mama-mama pedagang asli Papua di tengah kota Jayapura yang minta pasar yang layak, tidak pernah diakomodir. Sementara dana triliunan rupiah lebih banyak dikorupsi oleh para pejabat Indonesia, yang bertugas di tanah Papua. Bahkan di antara para pejabat itu, adalah anak-anak asli Papua. Mereka berambut keriting dan kulit hitam, tetapi hati mereka sudah terkontaminasi oleh birokrasi pemerintahan Indonesia yang korup. Situasi darurat ini pun tidak mampu menggugah hati SBY untuk memberikan perlindungan terhadap orang asli Papua. SBY membiarkan eksploitasi sumber daya alam, pasukan militer memenuhi tanah Papua dan korupsi merajalela. Ruang gerak orang Papua dipersempit. Ruang demokrasi dibungkam.
Menyaksikan semua situasi ini, pantas jika orang Papua mengatakan SBY tidak meninggalkan kesan baik bagi Papua. SBY bicara bahwa dirinya hendak membangun Papua, tetapi itu hanya retorika saja. Antara kata-kata dan tindakannya tidak sejalan. Ironinya, ketika orang Papua minta dialog SBY juga tidak peduli. Dalih bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI sudah final menjadi senjata ampuh untuk menutup ruang dialog yang diminta orang Papua. Tetapi, kalau benar bahwa Papua sudah final masuk dalam NKRI, apa buktinya? Indonesia memperlakukan orang Papua seperti seorang ibu tiri memperlakukan anak tirinya! Indonesia bicara tentang Pancasila, Tuhan yang Maha Esa, dan bhineka tunggal ika, tetapi pada saat bersamaan, ribuan orang Papua dibunuhnya. Tanah ini menjadi panas oleh darah ribuan nyawa tak berdosa yang dibantai oleh Indonesia.
SBY dan pemerintahannya akan berakhir. Kenangan buruk akan terpatri dalam lubuk hati orang Papua. Orang Papua tidak akan pernah ingat SBY dalam sejarahnya. Kalaupun ada, hanya catatan hitam. Berbeda dengan Gusdur yang jadi presiden tidak lebih dari dua tahun, tetapi buat banyak perubahan untuk Papua. Tidak demikian dengan SBY yang diam seribu bahasa tatkala menyaksi derita dan duka lara orang Papua.
Selamat tinggal SBY. Engkau hanya mengeruk kekayaan alam Papua dan mengirim pasukan militer ke tanah ini. Engkau melupakan orang Papua dan penderitaannya. Engkau memang tak pantas dikenang dalam sejarah orang Papua.
Abepura, Kamis, 16-10-2014;22.00 WIT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H