Sejak awal, Papua dikondisikan menjadi bagian negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Dekrit Trikora di Yogyakarta oleh Ir. Soekarno pada 19 Desember 1961 merupakan fakta sejarah yang menyatakan bahwa Indonesia ingin menguasai Papua. Tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan Papua ke Indonesia. Kini, diperingati sebagai hari kembalinya Papua ke pangkuan NKRI.
Indonesia memandang bahwa Papua menjadi bagian integral NKRI karena merupakan wilayah jajahan Belanda. Tatkala Belanda mengakui secara formal kemerdekaan Indonesia dalam konferensi menja bundar di Den Haag pada 27 September 1947, maka Papua secara otomatis menjadi bagian NKRI. Pada sisi lain, Belanda masih menguasai Papua, sambil menyiapkan Papua sebagai negara berdaulat. Puncaknya adalah deklarasi kemerdekaan Papua tanggal 1 Desember 1961.
Negara Papua terbentuk. Indonesia tidak menerimanya. Diplomasi politik antara Indonesia Amerika dan Belanda, menghantar Papua menuju Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lahirlah New York Agreement, 15 Agustus 1962, yang dalam artikel II menyebutkan pembentukan United Nations Temporary Excetuvie Authority (UNTEA), untuk menjalankan pemerintahan di Papua. Ironinya, UNTEA menyerahkan Papua lebih awal ke NKRI, pada 1 Mei 1963. Selanjutnya, Indonesia dengan segala kepentingannya melaksanakan Pepera 1969, yang hanya melibatkan 1.025 orang dari jumlah penduduk Papua mencapai 800 ribu jiwa. Pelaksanaan Pepera 1969 jelas bertentangan dengan New York Agreement, 15 Agustus 1962, yang mengamanatkan setiap pria dan wanita dewasa terlibat dalam proses penentuan pendapat itu.
Saat ini, setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari kembalinya Papua ke dalam NKRI. Ironinya, orang Papua tidak merasa sebagai bagian dari Indonesia. Padahal, sudah 52 tahun Indonesia diserahkan oleh UNTEA ke Indonesia. Kondisi ini memperlihatkan bahwa Indonesia tidak mampu menanamkan benih nasionalisme Indonesia kepada orang Papua. Indonesia tidak mampu menyakinkan orang Papua bahwa Papua pantas berintegrasi dengan Indonesia. Sebaliknya, Indonesia memperlihatkan kebobrokannya dengan memperlakukan orang Papua secara tidak adil. Berpuluh-puluh tahun orang Papua dilupakan. Papua hanya dijadikan tempat mengambil sumber daya alam.
Orang Papua mulai sadar bahwa mereka berada dalam genggaman penjajahan Indonesia. Kesadaran ini membangkitkan perlawanan. Lahirlah kelompok-kelompok radikal yang memperjuangkan pengembalian kedaulatan Papua. Orang Papua mau mengurus diri, hidup dan masa depannya, tanpa campur tangan Indonesia. Papua merdeka, berdiri di atas kaki sendiri menjadi pilihan untuk masa depan Papua yang lebih baik.
Sejak awal Indonesia sudah keliru dalam memandang Papua. Papua hanya dilihat sebatas sumber daya alam, tanpa memerhatikan manusia, orang asli Papua. Kekayaan alam dikeruk, tetapi orang asli Papua diabaikan. Orang Papua dibiarkan mati karena penyakit. Orang Papua dibiarkan tidak mengenyam pendidikan yang bermutu. Tatakelola ekonomi orang Papua tidak diperhatikan.
Untuk mengembalikan kepercayaan orang Papua terhadap Indonesia tidak mudah. Orang Papua sudah terlanjur sakit hati, kecewa dan merasa ditipu. Orang Papua mengalami bahwa ribuan sanak keluarga mereka dibunuh oleh Indonesia. Jerit-tangis derita orang Papua belum teratasi. Luka yang disayat oleh Indonesia masih terbuka lebar, belum terobati.
Namun, sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu mencari alternatif untuk membangkitkan kepercayaan orang Papua terhadap Indonesia. Belajar dari sejarah, Indonesia perlu mengakui dan meminta maaf atas berbagai pelanggaran kemanusiaan yang pernah dilakukan terhadap orang Papua. Indonesia juga perlu memaksimalkan pelayanan kepada orang Papua, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan dan pengembangan ekonomi. Sampai saat ini, banyak orang Papua yang masih tertinggal, anak-anak Papua tidak bisa bersekolah. Banyak anak-anak Papua yang menderita gizi buruk. Demikian halnya, banyak orang Papua mati karena malaria, HIV/AIDS dan berbagai penyakit lainnya.
Saat ini, pendekatan untuk Papua masih bersifat kasuistik dan mengedepankan nuansa militer. Bisa disaksikan di daratan tanah Papua dipenuhi dengan pos militer. Sementara, sekolah dan puskesmas tidak ada. Di kampung-kampung tidak ada fasilitas pendidikan dan kesehatan, tetapi ada pos tentara. Pendekatan keamanan perlu diubah dengan pendekatan kemanusiaan.
Masalah paling krusial adalah penghormatan terhadap martabat dan hak asasi manusia orang Papua. Indonesia kurang menghormati orang Papua. Indonesia memandang orang Papua dengan sebelah mata. Akibatnya, orang Papua merasa kurang mendapatkan tempat di atas tanahnya sendiri. Orang Papua merasa ditipu dan diperlakukan tidak adil oleh Indonesia. Akibatnya, perjuangan untuk merebut kembali kedaulatan Papua tidak dapat dihindari.
Sudah 52 tahun, Papua di dalam NKRI tetapi orang Papua tidak merasa memiliki Indonesia. Orang Papua merasa asing ada dalam Indonesia. Kerinduan terbesar saat ini adalah berdiri sendiri sebagai negara berdaulat.
Indonesia perlu memikirkan jalan terbaik untuk masa depan Papua. Ke depan, Papua tidak bisa diselesaikan dengan pasukan militer dan senjata yang canggih. Papua hanya bisa diselesaikan melalui penghormatan terhadap martabat manusia, dengan mengajak orang Papua untuk berbicara tentang hidup dan masa depannya.
Abepura, 25 April 2015; pk 09.38 WIT
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI