Berikut hasil Pemantauan Satatu Gizi anak balita Indonesia. Saya huruf gunakan miring karena ini kutipan langsung dari sini )
- Balita yang memiliki tinggi badan dan berat badan ideal (TB/U normal dan BB/TB normal) jumlahnya 61,1%. Masih ada 38,9% Balita di Indonesia yang masing mengalami masalah gizi, terutama Balita dengan tinggi badan dan berat badan (pendek -- normal) sebesar 23,4% yang berpotensi akan mengalami kegemukan.
- Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada Balita, terdapat 3,4% Balita dengan gizi buruk dan 14,4% gizi kurang. Masalah gizi buruk-kurang pada Balita di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masuk dalam kategori sedang (Indikator WHO diketahui masalah gizi buruk-kurang sebesar 17,8%).
- Prevalensi Balita pendek cenderung tinggi, dimana terdapat 8,5% Balita sangat pendek dan 19,0% Balita pendek. Masalah Balita pendek di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat masuk dalam kategori masalah kronis (berdasarkan WHO masalah Balita pendek sebesar 27,5%).
- Prevalensi Balita kurus cukup tinggi dimana terdapat 3,1% balita yang sangat kurus dan 8,0% Balita yang kurus. Masalah Balita kurus di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masuk dalam kategori akut (berdasarkan WHO diketahui masalah Balita kurus sebesar 11,1%.
Terkait kata "Prevalensi." Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan prevalensi adalah "hal yang umum; kelaziman, Â jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu."
Berdasarkan hal ini maka jika melihat point 1 sampai 4 pada hasil Pemantauan Status Gizi oleh Kementerian Kesehatan tersebut maka masih ada "pekerjaan rumah" yang harus diselesaikan dalam menangani masalah kesehatan anak dan balita di Indonesia. Jika fokus pada point pertama maka sangat jelas hampir sebagian anak dan balita di Indonesia mengalami kekurangan gizi. "Masih ada 38,9% Balita di Indonesia yang masing mengalami masalah gizi, terutama Balita dengan tinggi badan dan berat badan (pendek -- normal) sebesar 23,4% yang berpotensi akan mengalami kegemukan,"
Dan mirisnya jika kita secara seksama memperhatikan point ke-3, dimana prevalensi balita pendek cenderung tinggi. Dan berdasarkan standart WHO masalah ini merupakan masalah yang sangat kronis.
Akhirnya saya tak perlu panjang lebar lagi membahas masalah ini karena data pantauan status gizi Kementerian Kesehatan pada tahun 2016 sebagaimana yang saya sajikan diatas sangat jelas  dan tak perlu dibumbuhi lagi. Hanya saja mari kita sama-sama melihat, membaca dan menarik "benang merah" antara pembangunan kesehatan di tanah air dan kondisi kesehatan anak dan balita.
Sayang data ini tidak disajikan secara rinci tentang prevelensi masing-masing kabupaten/kota di Indonesia. Tapi setidaknya data dari 514 kabupaten/kota ini sudah menjadi presentasi dari kondisi kesehatan anak dan balita di Indonesia.
Dan jika saya berselancar lebih jauh, saya temukan bahwa hampir setiap bulan dari tahun 2010 selalu ada laporan tentang kasus-kasus balita gizi buruk yang diterima oleh Kemenkes dari seluruh daerah di Indonesia melalu aplikasi sms gate gizi buruk balita Indonesia per provinsi. (buka disini).
Ini mengindikasikan saatnya bangsa ini, kita dan seluruh pemangku kepentingan untuk benar-benar memperhatikan pembangunan kesehatan anak dan balita di Indonesia. Â Karena merekalah yang empuhnya masa depan bangsa.Â
Bagi saya lebih penting adalah memfokuskan segala daya dan upaya untuk memperhatikan pembangunan kesehatan anak dan bayi yang ada di daerah pinggiran, pendalaman, pengunungan dan daerah-daerah yang jauh dan terpencil. Daerah-daerah yang jauh dari akses dan pelayanan kesehatan. Karena resiko dan ancaman kematian anak dan balita masih sering terjadi di daerah pinggiraan dan pendalaman. Tidak saja karena masalah akses, pola perilaku tetapi juga pemahaman yang minim soal menjaga dan merawat kesehatan anak dan balita.
#salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H