Mohon tunggu...
Petrus Paryono
Petrus Paryono Mohon Tunggu... swasta -

Konsultan Independen & Trainer: Teknologi Informasi, Sistem Informasi Geografis, Penginderaan Jauh Lingkungan, Analisis Spasial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peta Desa

29 Februari 2016   11:42 Diperbarui: 29 Februari 2016   12:13 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah lama saya tidak baca koran cetak, jadinya yaa.. ketinggalan berita tentang peta desa. Konon menurut berita “sepotong-sepotong” dari twitter, minggu lalu ada seminar nasional tentang peta desa di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Namanya juga berita ala twitter, tentunya cuma “sepotong-sepotong” …kalau tidak salah kan dibatasi hanya sekitar 140 karakter saja.

Berita yang “sepotong-sepotong” tersebut menginformasikan bahwa Menteri Desa melakukan kunjungan kerja ke Yogya. Ada juga informasi bahwa Menteri Desa menghadiri seminar tentang peta desa di UGM. Dari informasi sepotong-sepotong tersebut saya mencoba memahami informasi secara utuh.

Dalam benak saya timbul pertanyaan koq seorang Menteri Desa disebutkan melakukan kunjungan kerja dan ternyata ke kampus UGM Yogyakarta. Apa urusannya? Bukankah seorang Menteri Desa bisa dikatakan melakukan kunjungan kerja kalau mengunjungi desa yang menjadi “target” pekerjaannya? Emangnya kampus UGM itu desa? Desa atau “ndesa”?

Setelah saya renung-renungkan, benar juga berita sepotong tersebut. Sang Menteri Desa memang sedang melakukan kunjungan kerja ke suatu desa. University Club UGM, tempat diadakannya seminar peta desa itu memang berada di Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman (mudah-mudahan belum berubah). Lhaa kenapa ada berita yang bilang ke Yogya? Itu bukan ke Yogya, tapi tepatnya ke Desa Catur Tunggal. Begitu kan lebih mantap dan tidak memberikan interpretasi macam-macam.

Juga diberitakan pak menteri naik pesawat dari Cengkareng Jakarta ..eh salah ...dari Cengkareng Tangerang .... ke Yogyakarta, padahal bandara Adisutjipto yang dituju oleh sang Menteri juga bukan di Kota Yogyakarta, namun di Kabupaten Sleman. Itulah uniknya .....sebutan Jogja, Yogya, Jogjakarta, atau Yogyakarta sudah campur aduk dan tidak bisa dipakai sebagai patokan batas administrasi resmi. Bagi masyarakat umum, semua sebutan itu sudah tidak mempedulikan lagi apakah di suatu kabupaten atau suatu kota. Semua yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta disebut Yogya. Padahal dalam sistem administrasi pemerintahan, ada perbedaan kabupaten dan kota.

Setahu saya menurut hirarki pemerintahan, setelah nasional lalu provinsi, ada kabupaten dan kota. Keduanya satu level, tapi ada perbedaan. Di bawah kota ada kecamatan lalu kelurahan, sedangkan di bawah kabupaten ada kecamatan lalu desa.

Memang secara umum, banyak kejadian penyebutan suatu wilayah yang tidak mengikuti hirarki administrasi pemerintahan. Contoh misalnya: “promo album Gigi Coklat akan diadakan di kota-kota Medan, Jakarta, Surabaya, Bali, dan Makassar.” Apakah Jakarta itu suatu kota atau provinsi? Apakah Bali itu kota atau provinsi?

Terkait dengan peta desa, berarti kita bisa tangkap yang dimaksud tentu adalah peta semua wilayah yang berada di bawah suatu kabupaten. Menurut PP No 8 Tahun 2013, tingkat ketelitian peta untuk penataan ruang wilayah kabupaten dan kota juga beda. Peta untuk suatu kota lebih teliti (skala lebih besar), sedangkan ketelitian untuk kabupaten selalu di bawah kota. Ini sekarang menjadi menarik, karena justru ada seminar tentang peta desa dan sekaligus ada kementerian desa. Kapan ada seminar peta kota dan kementerian kota?

Apakah karena desa lekat dengan kata “ndeso” yang berkonotasi dengan wilayah yang kurang maju dibandingkan dengan wilayah perkotaan? Di Indonesia, menurut informasi ada 74.754 desa dan sebagian besar di antaranya termasuk wilayah tertinggal atau tergolong desa tertinggal. Memang kalau mau membuat kondisi desa lebih baik dan lebih maju, tentu saja perlu ada perhatian dari pemerintah. Pemerintah bagi-bagi dana sampai ratusan juta rupiah per desa.

Peta desa bisa menggambarkan kondisi desa dan salah satu yang cukup penting adalah peta batas wilayah desa. Sebelum dipetakan, apakah wilayah desa sudah jelas? Kalau sudah jelas, tentu perhitungan jumlah desa sebanyak 74.754 di Indonesia tentunya juga bisa dikatakan valid. Jika batas wilayah desa sudah jelas, bukankah kepala desa dapat dengan mudah menggunakan dana desa yang ratusan juta tersebut untuk membangun infrastruktur di wilayahnya. Misalnya, membuat jalan di wilayah desanya sendiri dan berhenti tepat di perbatasan desa tetangga. Jika tidak tersambung ke desa tetangga, ya itu urusan desa tetangga.

Saya jadi ingat mengenai Masyarakat Adat di kabupaten-kabupaten seperti misalnya di Sumatera, Kalimantan, atau Papua. Apakah mereka juga memiliki wilayah desa seperti administrasi pemerintahan? Kalau tidak salah, pernah ada Peta Masyarakat Adat. Apakah ini akan diadopsi menjadi Peta Desa? Bagaimana dengan Desa Adat di Bali yang berbeda dengan Desa Administrasi yang justru “lebih operasional” dalam kehidupan sehari-hari. Apakah akan dibuat petanya juga? Mau disebut apa? Peta Desa atau Peta Wilayah Adat? Saya pernah baca kalau tidak salah tahun 2006 ada “perubahan status desa menjadi kelurahan”, bahkan sudah menjadi bahan penelitian tesis S2. Bagaimana nih? Apa nama Peta Desa perlu juga diganti menjadi Peta Kelurahan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun