Akhir April tahun 2012, saya berkesempatan mengunjungi Paris, ibukota negara Perancis. Kota dengan sebutan La Ville-Lumière (kota cahaya) ini menjadi ikon fesyen dunia dan berhasil memikat lebih dari 40 juta pelancong setiap tahunnya. Kunjungan ini seakan memuaskan dahaga setelah saya membaca dan melihat cukup banyak referensi mengenai Paris secara khusus dan Perancis secara umum. Enam tahun setelah menonton film Paris, Je t’amie (2006). Film omnibus yang mencuplik 20 cerita pendek dari tiap arrondissement. Lima tahun semenjak saya memutuskan berhenti belajar bahasa Perancis di CCF (Centre Culturel Francais) Wijaya dengan alasan sibuk dan kesulitan membagi waktu. Les bahasa ini pun hanya dijalani satu tahun. Dan empat tahun setelah saya menamatkan novel Edensor (2007), karangan Andrea Hirata. Edensor adalah seri ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi. Novel ini mengisahkan petualangan Ikal dan Arai yang mendapatkan beasiswa dari Uni Eropa untuk melanjutkan studi di Paris. Petualangan di Paris ini seakan-akan seperti ajakan khusus yang meminta saya suatu saat nanti harus mengunjungi Paris. Penulis novel ini mempromosikan Paris melalui ucapan seorang guru bernama, Pak Balia. Ia memompa semangat murid-muridnya untuk berani bermimpi.
“Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika. Tuntutlah ilmu sampai ke Sorbonne di Paris, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi di Spanyol”
Mimpi yang terasa hiperbolik untuk murid sekolah di pelosok Belitung, namun tentu saja tidak mustahil untuk diraih. Penekanan pada Sorbonne dan Paris seakan menjadi daya yang kuat untuk menghasilkan hasrat yang kuat dan diamini oleh Arai dengan ucapan “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.“ Dialog antara Pak Balia dan murid-muridnya ini membulatkan tekad yang kuat juga bagi saya untuk mengatakan pada diri sendiri: un jour, je vais aller à Paris. Akan datangi harinya saya mengunjungi Paris, melihat Eiffel dan juga mencium mezbah Sorbonne. Sebelum menceritakan petualangan di Paris, baiklah saya berikan sedikit pengantar. Kota Paris dibagi atas beberapa distrik yang disebut arrondissement. Susunan arrondissement ini unik karena berurutan dari arrondissement 1 titik nol-nya di depan Katedral Notre-Dame melingkar keluar mengikuti arah jarum jam sampai arrodissement 20. Tiap arrondissement ini memiliki kekhasan tersendiri. Di film Paris, Je t’aime ditampilkan dalam 20 cerita dari tiap arrondissement. Misi utama kunjungan ini sebenarnya untuk mendampingi konsumen perusahaan ke kantor pusat yang berlokasi di sub-urban Paris. Kami tiba di Eropa melalui Bandara Antarbangsa Frankfurt di Jerman. Dari Frankfurt mengunjungi pabrik di pinggiran Stuttgart. Kemudian keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Paris. Kami menggunakan kereta cepat TGV (Train à Grande Vitesse), kereta cepat simbol supremasi Perancis dalam bidang transportasi. Kami akan tiba di Stasiun Gard de l’Est yang berada di arrondissement 10. Sedangkan Ikal dan Arai, menurut novel Edensor, masuk kota Paris melalui Brussel, ibukota Belgia. Mereka menggunakan bus Euroline dan akan tiba di Terminal Gallieni, yang sudah berada di pinggiran arrondissement 20. Setibanya di stasiun Gard de l’Est, kami mengambil taksi untuk menuju Rueil-Malmaison, wilayah sub-urban yang berjarak 12.6 km dari pusat kota. Saya harus menyelesaikan urusan kantor terlebih dahulu. Rueil-Malmaison menjadi sentra bagi beberapa perusahaan besar seperti Schneider Electric (perusahaan listrik, -kantor saya), Astra Zaneca dan Bristol-Myers Squibb (perusahaan farmasi), Exxon Mobile (perusahaan minyak) dan Unilever (perusahaan barang konsumsi). Selepas makan siang, saat tugas pun telah selesai. Tibalah kini yang dinanti-nanti untuk promenade napak tilas tempat-tempat yang disebutkan di novel Edensor. Saya meminta Chantha, -salah seorang staf kantor, untuk memberikan panduan menuju Menara Eiffel. Dia lalu mencetak pada selembar kertas, rute kereta Paris dan sub-urbannya. Saya perhatikan sekilas rute tersebut sambil mendengarkan petunjuk Chantha. Jalur kereta di Paris dan sub-urbannya dilayani dua line yaitu Métro (akronim dari Chemin de fer Métropolitain de Paris) dan RER (Réseau Express Régional). Métro melayani 16 rute di dalam kota Paris, simbolnya ditandai dengan angka yang berada dalam lingkaran berwarna. RER melayani penduduk sub-urban dari dan menuju pusat kota. Terdiri atas 5 rute yang simbolnya ditandai dengan huruf berada dalam lingkaran berwarna. Chantha menandai jalur yang harus dilalui. Dari Rueil-Malmaison, kami mengambil RER A menuju stasiun Charles De Gaulle-Etoile, kemudian berpindah ke Métro 6 menuju Trocadéro. Cukup mudah karena hanya sekali berpindah jalur kereta. Sebelum mengucapkan “au revoir“, Chantha tidak lupa berpesan untuk berhati-hati. Di Paris, banyak pencopet yang mengincar para pelancong, terutama di kerumunan orang. Trocadéro, salah satunya, karena banyak penumpang yang datang dan pergi dari Menara Eiffel. Saya bergegas meninggalkan kantor. Stasiun Rueil-Malmaison, posisinya berada di seberang kantor, namun harus menggunakan jembatan penghubung untuk memotong jalan bebas-hambatan. Sesampai di Stasiun Rueil-Malmaison, saya membaca sekilas petunjuk untuk membeli tiket. Dengan kemampuan bahasa Prancis ala kadarnya, lalu menerka-nerka arti yang ditulis di loket tiket-mandiri. RATP (Régie Autonome des Transports Parisiens, perusahaan operator Métro dan RER) menawarkan tiket terusan untuk wisatawan. Pilihannya adalah 1 hari, 2 hari, 3 hari dan 5 hari secara berturut menyesuaikan terhadap zona wilayah yang ingin dikunjungi (zona 1-3 dan zona 1-5). Karena saya berencana hanya mengunjungi tempat-tempat di arrondissement Paris, maka saya memilih tiket terusan 3 hari dalam zona 1-3. Harganya € 23,40. Bagi yang ingin mengunjungi Istana Versailles dan Disneyland Paris, yang berada di sub-urban, harus memilih zona 1-5. Sayangnya, mesin tiket tidak menerima uang kertas. Sedangkan uang logam di kantong tidak cukup untuk membayar € 23,40. Syukurlah mesin itu menerima pembayaran dengan kartu-kredit berlogo VISA. Dengan memindai kartu kredit terbitan bank dalam-negeri dan abracadabra tiket pun di genggaman tangan. Kami masuk ke pintu masuk peron yang dihalangi oleh penutup cukup besar. Penutup ini berfungsi sebagai pembatas bagi penumpang ilegal tanpa karcis. Ajaibnya, walaupun sudah terhalang, saya melihat seorang pemuda berbadan besar mampu melompati pembatas itu. Ia memanfaatkan jeda waktu tertutupnya pembatas itu dari seseorang yang telah lebih dahulu masuk. Setelah berhasil masuk peron, pemuda itu berjalan tenang, seolah-olah tidak ada masalah apa-apa. Kami ikutan cuek, pura-pura tidak memperhatikan dan berjalan pula menuju platform. Kurang-lebih 3 menit, kereta RER A tiba. Kami masuk ke gerbong yang cukup ramai sehingga tidak mendapatkan tempat duduk. Kereta melaju kencang. Setelah melewati dua stasiun akhir kami mendapatkan kursi. Sambil duduk, saya menguping pembicaraan beberapa penumpang. Di bangku dekat pintu, duduk perempuan paruh baya berkerudung yang sedang asyik berbicara dengan laki-laki tua beruban. Dari perawakannya, saya menebak mereka adalah warga keturunan negara di Afrika Utara yang pernah dikuasai oleh Perancis. Suara-suara sengau khas bahasa Perancis sangat merdu untuk didengar. Begitu nyata, mengalahkan dolby speaker bioskop yang menayangkan film Taxi, yang sekuelnya ada 4. Saya suka suara-suara ini, sama seperti Ikal yang juga menyenangi bunyi sengau ‘ng‘ pada nama Maurent Leblanch (Liasion Officer Universitas Sorbonne). “Indah bukan main, Morong Leblang, sengau, terpelajar, dan sangat berkelas,” ujar Ikal. Kalau saya menyebutnya: elegan. Très élégante! Apalagi kalau diucapkan oleh Sophie Marceau, aktris Perancis idola saya. Di dalam kereta, saya mempelajari lembaran rute kereta yang diberikan Chantha. Bagi yang sudah biasa menggunakan MRT di Singapura atau MTR di Hongkong, pasti tidak kesulitan. Jalur Métro dan RER terkoneksi di beberapa stasiun untuk memudahkan penumpang berpindah rute. Contohnya, Ikal dan Arai yang ingin langsung melihat Menara Eiffel setibanya di Terminal Gallieni. Mereka pasti akan naik Métro 6 menuju Pont de Levallois-Becon dan turun di stasiun Havre Caumartin, kemudian menaiki Métro 9 menuju Trocadéro. Kereta yang kami tumpangi akhirnya tiba di stasiun hub, Charles De Gaulle-Etoile. Kami bergegas keluar dan melihat petunjuk untuk perpindah jalur. Stasiun ini merupakan interkoneksi 4 rute kereta. Rute Métro 6 ditandai dengan warna hijau. Dengan mengikuti tanda panah dan arah, tidak sulit untuk menemukan platform rute tersebut. Sesaat kemudian kereta pun datang. Beberapa kereta di Paris tidak memiliki pintu yang otomatis dibuka untuk menaikturunkan penumpang. Pada pintu terdapat knop yang harus diangkat untuk membuka pintu. Kami masuk ke dalam kereta mengikuti salah satu penumpang yang membuka knop pintu tersebut. Trocadéro hanya berjarak 3 stasiun dan ditempuh dalam waktu 10 menit. Kereta tidak dilengkapi suara yang memberitahukan perhentian selanjutnya. Namun tulisan nama stasiun tertulis dengan huruf besar yang dengan mudah terbaca. Saya kembali melihat peta untuk memastikan. Seorang ibu tua menegor dalam bahasa Inggis apakah saya hendak melihat Menara Eiffel. Saya mengiyakan. Sesaat sebelum tiba di Stasiun Trocadéro, ibu tua ini berseru supaya saya bersiap-siap untuk turun. Menara Eiffel Sesampai di Trocadéro, kami menepi ke salah satu sudut stasiun menyelesaikan urusan hajat manusia. Toiletnya mirip di stasiun Gambir, tidak terlalu bersih, namun tidak menyebarkan bau pesing. Setelah selesai, kami mempercepat langkah menaiki anak tangga. Di hadapan kami, kira-kira berjarak 1 km, berdiri dengan kokoh Menara Eiffel. Bersama dengan banyak pelancong lain, kami pandangi menara itu dengan rasa kagum. Tinggi menara Eiffel dapat kita kalkulasi. Berapa berat besi yang digunakan untuk membangunnya pun dengan mudah kita cari referensinya. Tapi luapan kegirangan menatap Eiffel ini sulit untuk dituliskan. Tidak dapat dikuantifikasi. Kita harus datang dan merasakan sendiri. Eiffel kokoh berdiri semenjak tahun 1889. Luar biasa … inilah icon Paris sekaligus juga Perancis. Menara yang juga menjadi saksi bisu masa peperangan dan perdamaian di Eropa. Eiffel luput dari kerusakan akibat Perang Eropa. Menurut cerita, Parisien (sebutan untuk penduduk Paris), sengaja memotong kabel supaya elevator tidak dapat digunakan. Sehingga saat Hitler datang menduduki Paris, ia tidak dapat mendaki dan hanya berada di dasar di menara tersebut. [caption id="" align="alignnone" width="647" caption="(1) Eiffel dilihat dari Trocadéro (2) Antrean pelancong di kaki-kaki menara untuk mendapatkan tiket menaiki Eiffel (3) Salah satu pengunjung bergaya dengan Eiffel sebagai background (4) Eiffel dilihat dari lapangan Champs de Mars"][/caption] Kami mengambil beberapa foto dan memuaskan diri memandang Eiffel. “Mimpi-mimpi telah melontarkan kami sampai ke Perancis,” kata Ikal saat menyentuh keempat kaki menara itu. Mimpi yang sama itu juga yang saya rasakan kala itu. Kami menuruni tangga menuju taman Trocadéro. Menyeberangi jalan Avenue de New York dan melintas di atas Sungai Seine melalui jembatan Pont d’Iéna. Terus menyusuri ke arah keempat kaki menara yang menyerupai rok. Pelancong mengular antre untuk membeli tiket menaiki menara. Kami memilih untuk tidak naik dan berjalan ke arah Champs de Mars sampai ke gedung Sekolah Militer Paris. Dari sini kami akan mengambil Métro di Stasiun École Militaire menuju Stasiun Gare de l’Est untuk mengambil bagasi yang kami titipkan sebelum menuju hotel. Sungai Seine dan Katedral Notre-Dame Mengutip novel Edensor:
Semilir angin yang terhembus dari riak-riak emas Sungai Seine menyambut kami. Sungai ini terbelah dua ditudungi selang-seling jembatan-jembatan artistik berusia ratusan tahun. Damai dan tenang seperti air yang pelan-pelan dicurahkan. Katedral, avenue, taman-taman, ornamen, dan galeri-galeri menghiasi pemandangan kiri kanan kami, harmonis memeluk kaki sang nyonya besar berkaki empat itu.
Menara Eiffel tepat berada di tepi Sungai Seine. Apabila kita memiliki waktu satu hari berdarma wisata, saya sarankan untuk mengambil Tour Batobus yang menggunakan kapal menyusuri Sungai Seine. Kita dapat memesan tiket dan menaiki kapal dari Port de la Bourdonnais, di dekat Eiffel. Kapal akan bergerak menyusuri Sungai Seine. Terdapat delapan perhentian yaitu: Menara Eiffel, Museum Orsay, Saint-Germain-des-Prés, Katedral Notre-Dame, Jardin des Plantes, berbalik arah menuju Hôtel de Ville, Museum Louvre danAvenue Champs-Élysées. Karena terbatasnya waktu, saya tidak mengambil trip ini, tetapi menyusurinya menggunakan Métro dan hanya sempat mengunjungi 4 dari 8 tempat yang ditawarkan tour Batobus. Selain Eiffel, kami melihat (tidak masuk) ke Museum Louvre, Katedral Notre-Dame dan Avenue Champs-Élysées. Katedral Notre-Dame adalah salah satu gereja yang paling terkenal di dunia. Katedral berada di pulau alami Île de la Cité yang berada di tengah Sungai Seine. Namun gereja ini sekarang lebih terkenal menjadi ikon wisata daripada sebagai tempat peribadatan. Notre-Dame mampu mengalahkan Eiffel sebagai tempat yang paling banyak dikunjungi pelancong. Menurut Wikipedia Notre-Dame didatangi oleh 13.6 pelancong, sedangkan Eiffel dikunjungi 7.1 juta orang. [caption id="" align="alignnone" width="647" caption="(1) Kapal Batobus untuk berdarma wisata menyusuri Sungai Seine (2) Gembok cinta bertuliskan "together forever from this day forward 23-3-12â" yang tergantung di jembatan Pont de l’Archevêché di belakang Katedral Notre-Dame (3) Jembatan penghubung menyeberangi Sungai Seine ke arah Katedral Notre-Dame"]
- Saat Ikal membeli compact disc Anggun C. Sasmi untuk mendengarkan lagu La Niege au Sahara di toko musik di kawasan kawasan elite L’Avenue des Champs-Elysesees.
- Paragraf sinis yang mengatakan: “Teater musim panas yang menjadi cerita orang-orang kaya baru Asia yang berbelanja di Paris. Pulang ke tanah air, mereka petantang-petenteng mengaku menjelajahi butik Prada sepanjang L’Avenue des Champs-Elysees, padahal memborong baju obral di Mal Lafayette.”
Pertunjukan Jalanan Pada bab Pertaruhan Nama Bangsa, Hirata mengisahkan taruhan gila teman-teman Ikal dan Arai untuk backpackerkeliling Eropa. Siapa yang dapat menempuh paling banyak kota dan negara dengan modal mengamen (pertunjukan jalan) akan didaulat sebagai pemenang. Hukuman bagi yang kalah adalah mengurus laundry peserta lain selama tiga bulan, membayar cover charge untuk clubbing dan menuntun sepeda secara mundur dari Louvre menuju Arc de Triomphe. Stansfield, mahasiswi Inggris -akan mengamen dengan trombon. Townsend, mahasiswi Amerika -akan mengandalkan kemampuannya memainkan akordion. Manooj, mahasiswa India -mengandalkan tarian goyang kepala. Gonzales, mahasiswa dari Meksiko -akan pamer atraksi bola kaki pinggir jalan. Ninoch, mahasiswi dari Georgia -mengamen dengan mengandalkan jebak tiga langkah papan catur. Sedangkan Arai dan Ikal mengandalkan seni pertunjukan dengan kostum ikan duyung (sesuai usulan Famke). Pertunjukan jalan ternyata menjadi hal yang umum di Paris. Saat mengaso di sebuah kafe, kami menyaksikan sekelompok muda-mudi mengamen ensembel dengan alat musik tiup. Di bukit Montmartre, kami melihat seorang pemuda melakukan atraksi bebas juggling bola. Pertaruhan yang dikisahkan Hirata mungkin hanyalah fiksi saja. Tetapi taruhan seperti ini sangat mungkin terjadi di zaman, yang menurut Mangunwijaya di bukunya Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa, terdapat jurang cita rasa antara generasi de la grande Nation de la France sebelum Perang Dunia dan generasi Levi’s. Lanjutnya lagi, seorang gadis ditahan polisi karena kurang ajar menggoreng telor di atas api peringatan pahlawan tak dikenal di Arc de Triomphe, hanya demi taruhan dengan teman-temannya. [caption id="" align="alignnone" width="768" caption="Atas: Atraksi freestyle juggling ball di Montmartre; Bawah: ensembel alat musik tiup di salah satu jalan di Paris."]
- Novel Edensor karya Andrea Hirata.
- Untuk referensi arrondissement kota Paris, silakan membaca laman Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Arrondissements_of_Paris)
- Untuk referensi harga tiket dan zona kereta Métro dan RER, silakan melihat website RATP (http://www.ratp.fr/en/ratp/r_94834/parisvisite)
Foto-foto Foto-foto adalah koleksi pribadi, kecuali foto makam Oscar Wilde diambil dari wikipedia.