Sudah tentu, sebelum habis subuh, Suhud menyiapkan tiang bambu: tempat menitipkan ikat sehelai kain merah diatas putih-- bendera pertanda tegas sebuah negeri. Suhud juga Sudanco Latief pasti berdetak kencang debar jantungnya: salah satunya diam-diam melatih derap kakinya seolah upacara bendera. Salah satunya diam-diam melatih kerapatan jari tangan ketika menghormat menghadap tiang dengan kain berkibar-kibar. Salah satunya pasti berlatih dengan membawa baki berisi cangkir juga poci: seolah Sang Saka di atasnya.
Sebelum habis subuh ada debar gembira sekaligus panik khawatir--seolah penuh asmara, ia jatuh kasmaran pada kelahiran baru negerinya yang akan habis ringkihnya: Amir Syarifudin sehabis bangun tidur yang sepotong-potong karena ingatannya penuh seperti pemuda kasmaran. Ia terduduk lebih lama di pinggir ranjangnya, membuka balik bolak balik bolak balik Alkitab di tangannya: ia tekun melakukan saat teduh. Ia memohon lebih lama. Agar negeri tanah juga airnya selamat lahir kembali. Sebuah reinkarnasi.
Dan semakin pagi: jantung yang berdegup tidak tenang semakin banyak. Bapak tua berpeci semakin demam tubuhnya: Soekarno. Dan Soewirjo sudah sibuk sepagi itu di rumah Pegangsaan: mempersiapkan upacara juga pengeras suara.
Rumah Pegangsaan semakin penuh: oleh jiwa-jiwa yang sudah muak dalam pembatasan, oleh jiwa yang rindu kepulangan negerinya yang gagah: sebuah penyambutan dari kepergian lama.
Hatta masih bersiap dirumahnya--dengan sayup suara nyanyi yang tidak biasa: sebelah rumahnya memutar piringan bersuara Miss Roekiah yang mendayu menyihir. Hatta memantaskan pakaiannya. Dengan sepatu yang biasa-biasa saja. Tanpa Bally yang akan selalu diimpikannya hingga selesai usianya. Tapi mimpi terbesarnya akan segera mewujud nyata: negerinya yang teramat agung penuh dicintainya akan kembali pulang. Dalam sebuah kemerdekaan yang direbut dijemput. Bukan diberi dan diantar. Kacamatanya menguap embun: inilah akan menjadi pencapaian hidupnya mengabdi. Menghadiahkan hidupnya sendiri untuk negeri yang menghidupinya.
Kala itu tanggal 17 bulan yang sama Agustus ke delapan tahun seribu sembilan ratus lebih sudah lama, saat matahari hendak naik sepenggal.
09:56 pengeras suara yang serak terbatuk-batuk. Bapak tua berpeci yang sedang demam, lupa. Ia berlari dari tubuhnya sendiri. Ia memasukkan api setiap jiwa yang bergetar merindu negerinya yang tertidur, lantang mengucap:
Saudara-saudara sekalian! Saja sudah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menjaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berdjoeang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombangnja aksi kita untuk mentjapai kemerdekaan itu ada naik dan ada turunnya, tetapi djiwa kita tetap menudju kearah tjita-tjita.
Djuga di masa pendudukan DJepang, usaha kita untuk mentjapai kemerdekaan nasional tidak henti-henti. Di masa itu, tampaknya sadja kita menjandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menjusun tenaga kita sendiri, tetap kita pertjaja kepada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnja kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri. Hanja bangsa jang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnja.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan musjawarat dengan pemuka-pemuka rakjat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusjawaratan itu seia sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnja untuk menjatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Dengan ini kami njatakan kebulatan tekad itu. Dengarlah Proklamasi kami:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!