Ia datang di kala ramai, tapi pikiran saya berbincang dengannya.
Ia seorang laki-laki.
Ketika saya terlampau sedih dan merasa seluruh sudut dunia menghimpit saya, teman gelembungku melonggarkan. Ia meyakinkan, saya memilikinya. Maka tak pernah perlu saya meratap.
Begitu seterusnya. Ia selalu setia. Sebagai seorang ayah, kakak, sahabat, kekasih, atau apapun itu yang terjelas ia setia sebagai teman gelembung.
Sampai suatu sore selepas Maghrib pada usia 18. Saya dan dua orang sahabat saya di sekolah, di teras lapang, membuat masing-masing pengakuan. Hal apa yang disimpan rapat, diungkap atas nama kepercayaan seorang sahabat.
Teman gelembung lah yang ku sodorkan sebagai cerita. Karena ia nyata tapi tak terlihat, ia ada tapi tak bersuara, ia hadir tapi kututupi.
Maka sejak malam sejak perbincangan pengakuan di teras lapang sekolah, teman gelembungku tidak pernah datang. Atau ia sudah tidak hidup. Ia gugur membayar tunai tugas. Menjadikanku tegar percaya, tak satu hal buruk mampu menembus perisai yang perlahan ia susun. Mengantarkanku pada teman yang dapat bersuara. Hadir dapat disentuh.
Maka bersama langit yang menggelap sehabis Maghrib, ia-- teman gelembungku-- menguap seperti asap, bercampur bersama udara. Lalu tidak pernah terlihat. Tidak pernah hadir. Kembali. Tak pernah lagi.
*untuk Teman Gelembung, dan para teman dari Teman-Teman Gelembung--seperti saya, yang merasa kehilangan, meski tidak pernah mereka benar-benar hilang. Sebenarnya.
Â
https://triasyuliana.wordpress.com/