Aku masih mengingat kala itu yang begitu jauh dari sekarang.
"Des, ambilkan pelepah kelapa itu, aku akan menunjukkanmu sebuah wayang"
Kala yang begitu jauh dari sekarang.
Aku masih bisa mengingat, kulit Sjahrir yang begitu cepat menggelap tertempa matahari Banda Neira. Kata mereka para kawan Sjahrir, matahari disini sembilan kali lebih banyak daripada yang berada di Jawa.
Aku, Des kecil. Belajar berhitung dalam bahasa Inggris langsung dari Sjahrir. Begitu besar aku terlambat tahu, Ia adalah seorang mahsyur. Kemahsyurannya meluas laut. Melampaui Banda Neira.
Mereka bercerita, Sjahrir ditawan disini. Di pantai ini. Tapi mereka pasti membual.
Sjahrir sempat bertengkar dengan Hatta, setidaknya yang kuingat ada dua hal:
1. Sjahrir yang begitu menikmati pengasingannya disini: bermain dan menjadi guru dengan anak-anak pantai sepertiku, sehingga sempat menolak kepulangannya ke Jawa-- dan itu menyusahkan Hatta. 2. Sjahrir membelaku ketika aku tak sengaja yang begitu lincah berlari lalang kesana kemari, sehingga aku menyenggol kopi yang tumpah mengenai buku Hatta-- bagi Hatta buku adalah harta seorang Hatta.
Dan anak nakal sepertiku yang membuat pengasingan nampak lebih semarak atau juga justru lebih sepi.
Sering aku menduga, kenapa ada orang begitu bergembira ditempatkan dalam pengasingan. Atau karena Banda Neira teramat menawan?
Ketika aku sedikit lebih besar dan mulai mengerti apa arti sebuah pengasingan, Sjahrir bagiku terlampau menikmati dan berbahagia disini. Atau karena lagi-lagi, Banda Neira teramat menawan?