Pada September 2015 lalu, melalui Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 193 negara telah menyepakati agenda pembangunan dunia bertajuk Sustainable Development Goals (SDGs). Perumusan SDGs ini sekaligus melanjutkan agenda pembangunan Millennium Development Goals (MDGs) yang saat itu telah berakhir. Secara umum, SDGs bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia secara global. Secara spesifik, SDGs memuat tujuh belas tujuan pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai oleh seluruh negara hingga tahun 2030 nanti. Dari 193 negara yang bersepakat mengenai SDGs, terdapat Indonesia di antaranya. Lantas, bagaimana upaya negara kita untuk mewujudkannya?
Tujuh belas tujuan dari berbagai sektor yang tertuang dalam SDGs memerlukan keterlibatan berbagai pihak. Namun, dalam konteks kali ini, kita akan berfokus pada tujuan ke-16 dari SDGs, yaitu perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. Terkait tujuan ini, salah satu lembaga yang berkontribusi ialah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Berbicara mengenai MKRI, ada baiknya kita menilik kembali bagaimana latar belakang berdirinya lembaga ini. Sebagai lembaga yudikatif produk reformasi, MKRI dibentuk untuk menjawab kebutuhan terhadap mekanisme pengujian undang-undang (judicial review) yang semakin meningkat. Melalui amendemen ketiga UUD 1945 pada tahun 1999, ketentuan tentang MKRI dimuat dalam Pasal 24C. Sebagai tindak lanjut, dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 13 Agustus 2003, dirumuskanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir MKRI.
Dua puluh tahun berdiri, inilah momen yang tepat bagi kita untuk mengulas perjalanan MKRI, khususnya tentang sejauh mana peran lembaga ini dalam mewujudkan tujuan ke-16 dari SDGs. Peran MKRI dalam hal ini berkaitan dengan tiga target, yaitu menggalakkan negara berdasarkan hukum di tingkat nasional dan internasional serta menjamin akses yang sama terhadap keadilan bagi semua, mengurangi korupsi dan penyuapan dalam segala bentuknya, serta mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel, dan transparan di semua tingkat.
Salah satu target dari tujuan ke-16 SDGs adalah menggalakkan negara berdasarkan hukum di tingkat nasional dan internasional serta menjamin akses yang sama terhadap keadilan bagi semua. Peran MKRI terkait target ini berkaitan erat dengan kedudukan MKRI itu sendiri, yaitu sebagai lembaga negara pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Maka dari itu, sudah jelas bahwa, pada prinsipnya, MKRI memiliki peran yang vital dalam menegakkan posisi Indonesia sebagai negara hukum. Pada saat yang bersamaan, MKRI juga berperan penting dalam menjamin keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Peran ini ditunjukkan oleh MKRI terutama selama lima tahun kedua kiprahnya mengawal konstitusi di tanah air. Selama periode tersebut, putusan-putusan MKRI dinilai sukses mengatasi persoalan hukum ketatanegaraan dan mendorong tegaknya prinsip keadilan.
Target selanjutnya yang termuat dalam tujuan ke-16 SDGs ialah mengurangi korupsi dan penyuapan dalam segala bentuknya. Peran MKRI dalam mendukung tercapainya target ini tecermin dalam kewenangannya untuk melakukan pengujian undang-undang. Undang-undang yang dimaksud ialah undang-undang yang mengatur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal ini, MKRI berperan dalam menegaskan kedudukan KPK sebagai lembaga antikorupsi yang konstitusional. Terkait hal ini, pernah ada permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap bertentangan dengan ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945. Jika permohonan tersebut dikabulkan, KPK terancam dibubarkan sebab keberadaannya dianggap inkonstitusional. Namun, MKRI menyatakan bahwa Undang-Undang KPK tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik secara materil maupun formil. Berkat putusan tersebut, kedudukan KPK dapat dipertahankan sehingga KPK dapat terus memimpin upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Peran MKRI dalam mendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi juga diwujudkan melalui pengujian-pengujian materil terhadap substansi yang termuat dalam Undang-Undang KPK. Dalam hal ini, masyarakat berhak untuk mengajukan permohonan uji materil kepada MKRI jika memang terdapat ketentuan dalam Undang-Undang KPK yang dinilai menghambat kinerja atau menurunkan wibawa lembaga antikorupsi tersebut. Apabila kemudian MKRI memutuskan bahwa ketentuan tersebut inkonstitusional dan berlawanan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, MKRI dapat meniadakan kekuatan hukumnya melalui putusan tersebut.
Mengenai target mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel, dan transparan di semua tingkat, MKRI sadar bahwa langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan membenahi lingkup internalnya terlebih dahulu. Pertama, MKRI telah menunjukkan upayanya untuk menjadi lembaga yang efektif dengan aktif mengadili berbagai perkara dan memberikan putusan yang sifatnya mengikat, baik dengan meniadakan maupun menciptakan suatu proses politik, demi memastikan praktik politik yang selaras dengan konstitusi. Kedua, dalam rangka mewujudkan suatu akuntabilitas, MKRI mengeluarkan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap rentang waktu tertentu. Melalui laporan tersebut, masyarakat dapat mengetahui kinerja dan pencapaian serta evaluasi/hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap MKRI. Ketiga, terkait transparansi, MKRI senantiasa menerapkan prinsip keterbukaan dalam berbagai proses pelaksanaan kewenangannya. Akses masyarakat terhadap seluruh persidangan dibuka lebar-lebar, baik secara langsung maupun melalui media. Bahkan, tersedia pula siaran langsung yang ditayangkan melalui laman dan kanal YouTube MKRI.
Selain kelembagaan internalnya, peran MKRI dalam mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel, dan transparan di semua tingkat juga menjangkau lembaga-lembaga negara lainnya. Dalam hal ini, peran MKRI tersebut berkaitan erat dengan kedudukannya sebagai lembaga peradilan yang memegang fungsi kontrol yudisial. Dengan fungsi tersebut, MKRI mempunyai tanggung jawab untuk mencegah terjadinya penyimpangan di lingkungan lembaga-lembaga pemerintahan, tentunya melalui mekanisme pengujian undang-undang yang berkaitan dengan lembaga-lembaga tersebut. Jika undang-undang yang mengatur suatu lembaga dinilai memuat ketentuan yang memungkinkan terjadinya penyimpangan atau menghalangi penerapan prinsip efektivitas, akuntabilitas, dan transparansi, MKRI dapat mengeluarkan putusan yang selanjutnya ditindaklanjuti melalui serangkaian evaluasi terhadap undang-undang yang dimaksud.
Bila kita cermati bersama, peran MKRI dalam mendukung tujuan ke-16 SDGs telah melekat dengan kedudukan, kewenangan, dan kewajiban MKRI itu sendiri. Perjalanan MKRI sampai dengan saat ini pun sedikit banyak telah membuktikan perwujudan nyata dari peran-peran tersebut. Namun, yang tak kalah penting, MKRI sepatutnya dapat menunjukkan konsistensi terkait hal ini. Untuk itu, publik berharap MKRI senantiasa mengedepankan prinsip independensi dan imparsialitas. Jangan sampai putusan MKRI menjadi tidak konsisten sebab adanya pengaruh kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, perlu ditegaskan kembali bahwa fokus utama MKRI terletak pada perkara yang diajukan, bukan pada pihak yang berurusan dengan perkara tersebut.