Filipina bikin heboh dunia internasional. Presiden baru Rodrigo Duterte perintahkan untuk membunuh gembong-gembong narkoba Filipina. Sudah lebih dari 1.500 gembong narkoba mati dibuang di Teluk Manila atau di jalanan kota. Amnesty International dan Sekjen PBB Ban Ki Moon mengkritik tindakan Duterte ini, dan sang presiden malah mengkritik balik PBB soal perang di Suriah, Irak dan polisi di AS yang membunuh warga kulit hitam.
This must be ringing a bell to us. Tahun 1980-an awal Presiden Suharto dan jajaran keamanan nasional melancarkan tindakan yang hampir sama, dengan target para gali, alias para kriminal pembuat kejahatan. Operasi yang disebut Operasi Clurit atau yg lebih terkenal dengan Petrus (penembak misterius) karena sebagian besar kriminal itu mati dengan cara ditembak. Memang jumlah yang sudah mati dalam Operasi Clurit secara resmi tidak sampai membilang angka seribuan, tapi kita tidak pernah tahu karena setelah mendapat kritik, operasi tersebut tidak terdata lagi jumlah korbannya.
Aksi street justrice seperti ini menimbulkan pro dan kontra. Pertanyaannya: apakah negara memiliki hak yang sah untuk membunuh manusia walaupun mereka adalah para penjahat, dan melakukan itu di luar sistem hukum? Biarkan saja ahli moral dan hukum pikirkan itu.Â
Bagi keluarga korban maupun pribadi yang dirugikan, kejahatan memang sangat membekas ke dalam relung hati. Sakit hati korban pemerkosaan, keluarga dari korban pembunuhan atau sakitnya orang yang kecurian harta benda tidak dapat dipahami dengan benar oleh para ahli hukum dan moral yang tidak mengalami kejahatan itu sendiri. Dendam adalah perasaan yang menyakitkan bagi para korban atau keluarga, tetapi hanyalah benda kecil di bawah mikroskop yang bahkan tidak membuat gatal para pengamat di mikroskop.Â
Makanya ucapan pengamat kejahatan itu seperti ucapan malaikat, merasa jadi manusia paling ahli dan paling benar. Tetapi di balik ucapan pengamat, apa yang dirasakan oleh pelaku ataupun korban, siapa yang tahu. Tentu sakitnya berbeda.
Sakit hati seperti itu bisa akibatkan dampak bermacam-macam, dan bisa jadi tidak kurang kejamnya dari kejahatan itu. Contoh sederhana: kejahatan dibalas kejahatan adalah ketika maling motor ketangkap, dibakar atau digebukin sampai sekarat oleh penduduk sekampung.
Alasan yang muncul dari street justice menurut saya tidak bisa dikerucutkan hanya pada soal moral atau hukum, karena soal sosial, praktis, perasaan individual/kelompok masyarakat juga terlibat, termasuk juga struktur keamanan dan sistem pengamanan dalam masyarakat dan rasa keadilan masyarakat.
Contohnya, ada salah satu polsek di kecamatan di sebuah kota satelit di selatan Jakarta. Waktu melaporkan soal pencurian, saya melihat tenaga di polsek itu tidak lebih dari 40 orang. Kecamatan terpadat di Indonesia hanya memiliki 40 tenaga polisi, pantes aja di setiap RT terjadi tingkat kriminalitas pencurian begitu tinggi. Jangankan tingkat RT, ratio jumlah polisi dibanding jumlah masyarakat sangat tidak sebanding.
Artinya penegakan hukum untuk keamanan lingkungan tidak bisa ditangani oleh tenaga keamanan yang digaji negara yaitu polisi. Jadi jika terjadi kejahatan dan penjahatnya digebukin sampai mati atau dibakar, maka hal itu bisa puncak dari gunung es kekecewaan di masyarakat yang merasa tidak terlindungi.
Begitu juga masyarakat di suku pedalaman yang tanah dan hutannya terus diperjualbelikan oleh bupati dengan pengusaha asing maupun pengusaha Jakarta tanpa melibatkan mereka yang tinggal dan hidup dari hutan. Mereka tidak dapat melawan dalam permainan hukum dan dagang politik. Yang mereka bisa lakukan adalah membakar kendaraan atau perumahan milik para pegawai pengusaha yang dilihat dari perspektif mereka sebagai penjajah wilayahnya.
Sama juga dengan sedikitnya penegak hukum dibandingkan dengan jumlah pelaku kejahatan dan pengedar narkoba. Hal ini mengakibatkan banyak anak muda jadi korban narkoba. Orang tua yang kecewa bisa jadi akan meledak dan membunuh pengedar narkoba.