Indonesia secara kultur masih dipengaruhi oleh agama kuno Animisme dan Dinamisme, agama suku bangsa Indonesia di masa lalu, yang kagum, heran dan kemudian menyembah atau takut pada sosok binatang atau makhluk lainnya yang dianggap berkuasa dan menakutkan, dan pada kuasa-kuasa yang tidak bisa mereka jelaskan.
Salah satu bentuk pengaruh tersebut adalah kepercayaan pada pengaruh-pengaruh baik dan pengaruh buruk dari hal yang tidak sanggup ia jelaskan, yang ia terima, dan ia laksanakan langkah antisipasi menghindari pengaruh buruk dan meningkatkan pengaruh baik.
Nelayan dan masyarakat pesisir memiliki kebudayaan larung saji di mana makanan, buah-buahan, atau kembang atau daging tertentu dibuang ke laut, dianggap sebagai persembahan untuk menyenangkan hati "penguasa laut".
Masyarakat di pegunungan memiliki adat memberikan persembahan kepada "bumi", masyarakat daerah pertanian memiliki keprcayaan ada suatu "Dewi Sri" dewi kesuburan untuk tanaman padi. Masyarakat bahari juga memberikan persembahan kepada "penguasa lautan" agar keselamatan pelayaran mereka jangan diganggu. Demikian juga ada masyarakat yang memberi "nama julukan hormat" kepada unsur-unsur alam lautan seperti badai, angin kencang, hujan deras, petir/halilintar, ombak, dengan harapan sebutan hormat tersebut tidak membuat kuasa-kuasa berbahaya tersebut tersinggung.
Jadi dalam alam bawah sadar di sebagian besar masyarakat Indonesia kepercayaan akan adanya penguasa tak terlihat, dengan dua jenis kuasa yang baik dan yang buruk/berbahaya diaplikasikan dengan nyata melalui tindakan "sesaji" suatu tindakan simbolik sebagai respon atas "kuasa tak terlihat" tersebut.
***
Format tradisional yang hidup dalam masyarakat yang masih kental dilaksanakan umumnya di masyarakat yang masih memegang adat dan agama lama, seperti Hindu di Bali, agama "kejawen", orang suku-suku khusus di pedalaman, seperti Sasak, Bromo, Badui, suku-suku di Papua, Sulawesi, Sumatera, Nusa Tenggara, dan Kalimantan, bahkan Mbah Marijan sang kuncen Merapi, dll..
Tetapi format yang sudah tersamarkan namun masih dilaksanakan adalah "sesajen" bentuk baru. Apa yang kita sebut "gratifikasi", mestinya dapat dilihat berakar pada hal-hal demikian. Kesamaannya adalah bahwa kaum penguasa, walaupun mereka itu manusia biasa, tetapi dalam alam pikiran primitif/bawah sadar, masuk dalam suatu golongan "penguasa tak terlihat". Artinya bukan fisik mereka yang tak terlihat, tetapi "kuasa/pengaruh" mereka. Oleh karena itu, agar pengaruh tersebut bisa kita hindari (jika bahaya), atau bisa menguntungkan (jika baik) maka diberikan sesajian untuk "menyenangkan" hati para penguasa tersebut.
"Kepala Kantor" atau "Ketua Dewan" memiliki kuasa agar proyek diberikan kepada kita atau kepada orang lain. Agar proyek jatuh kepada kita, maka "pengaruh baik" dari penguasa tersebut harus ditingkatkan. Caranya memberikan sesaji untuk menarik pengaruh baik tersebut.
Maka gratifikasi sejatinya adalah sebuah sesaji dari alam bawah sadar masyarakat Indonesia kuno yang terbawa dalam masyarakat Indonesia modern, dan mengambil bentuk modern.