Pemerintah Yang Cerdik : Kasus Dualisme Pengurus Golkar
Pertama langsung jujur aja, saya bukan pemerhati politik, bukan berilmu politik, bukan orang politik, apalagi nulis untuk tujuan politik. Tulisan ini hanya sekedar komentar saja, tertarik bagaimana cara orang politik bertindak menunjukan kecerdikan yang menarik.
Adalah Partai Golkar dengan Munas di Bali akhir November 2014 berhasil secara aklamasi memilih Bpk. ABR sebagai Ketua Umum Golkar melanjutkan kekuasaan incumbent-nya. Lalu hanya 2 minggu berselang, sebagian kader Golkar mengadakan Munas tandingan di Jakarta, dan berhasil memilik Bpk. A.L. sebagai Ketua Umum.
Maka klaim keabsahan bagi kubu sendiri dan ketidakabsahan kubu lawan pun muncul di kedua belah pihak. Karena sama-sama main klaim, maka dibutuhkan penengah yaitu pihak ketiga d.h.i Pemerintah qq. Kementerian Hukum dan HAM.
Syahdan beberapa waktu yang singkat, keputusan Pemerintah pun keluar : Kedua Munas dan hasilnya SAH sesuai hukum yang berlaku. Nah lho.
Apakah Pemerintah salah? bodoh? nggak punya pendirian? brilian? cerdik? lihai? Setiap orang boleh berpendapat, tetapi saya percaya Pemerintah sungguh brilian/cerdik/lihai.
Ini alasannya :
1. Pemerintah adalah kubu yang secara pandangan politik berseberangan dengan Pengurus Munas Bali, sehingga memiliki kepentingan untuk memberikan challenge yang kuat (bila perlu pelemahan) kepada kepengurusan itu yang notabene adalah penguasa suara Golkar di DPR.
2. Dengan mengakui Pengurus Munas Jakarta, kesempatan Pemerintah itu muncul dengan sah. Agar sesuai hukum, Pengurus Munas Jakarta harus ditemukan valid dan sah, dan Pemerintah menemukan fakta itu, yaitu bahwa Munas Jakarta itu didukung oleh mereka yang mendukung Munas Bali, dari DPD-2 dan DPD-1. Alasan mengapa kader Golkar bersifat "standar ganda" demikian bukan wilayah Pemerintah, namun bahwa sifat mendua demikian menguntungkan Pemerintah dan wajib dimanfaatkan segera.
3. Dengan sahnya kedua kepengurusan Golkar, maka secara undang-undang kepengurusan kembar dipaksa untuk rekonsiliasi untuk menentukan hanya satu pengurus Golkar yang sah secara nasional. Maka ada 3 jalan yang mungkin ditempuh : 1) Munas ulang, dimana pendukung Jakarta dan pendukung Bali harus bertemu sekali lagi dengan kondisi "setara/seimbang" tanpa asumsi intervensi lagi. Fakta bahwa pendukung Jakarta adalah juga pendukung Bali, menjadikan Munas ulang tersebut sangat logis dan mudah. 2) Islah antara Kepengurusan Munas Bali dan Kepengurusan Munas Jakarta, para pimpinan saling berkompromi dan membagi kekuasaan di antara mereka. 3) Memanggil penengah Pihak Ketiga dalam hal ini Pemerintah lagi, atau Pengadilan.
4. Dengan Munas rekonsiliasi tersebut, maka demokrasi tanpa represi kekuasaan uang dan administratif akan muncul, pelaksanaannya disoroti, diawasi dan dipantau berbagai pihak, peluang terjadi pembaharuan dalam tubuh partai meningkat, keberanian kader daerah meninggi, proses demokrasi lebih baik.