Mohon tunggu...
Petra Sembilan
Petra Sembilan Mohon Tunggu... -

terus menulis :\r\nhttp://seputarankotajakarta.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Andainya Taktik Ahok Diikuti Gubernur, Bupati, Walikota

25 Mei 2015   16:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:37 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menyitir ulasan Jaya Suprana, bosnya Museum Rekor Indonesia MURI dalam suatu kesempatan. Ia bercerita bahwa bangsa Jerman dalam berbisnis, yang dicerminkan dalam sistem akuntansi negaranya, bahwa "uang upeti" (istilah om Jaya saat itu kami kurang ingat), ketika perusahaan berbisnis dengan Pangeran/Penguasa di negara minyak Timur Tengah diakui oleh bangsa Jerman sebagai "kelaziman bisnis yang dapat diterima". Sehingga "upeti" yaitu prosentasi tertentu dari nilai bisnis yang menjadi hak Pangeran/Penguasa Arab misalnya 2.5% yang diserahkan oleh perusahaan Jerman, secara sah dapat dianggap dalam laporan keuangan perusahaan Jerman itu sebagai komponen "biaya" yang legal.

Jaya Suprana lebih jauh mewacanakan, bahwa bangsa Indonesia harus secara jujur mengakui bahwa "upeti" (ini masih bahasa saya) adalah kelaziman budaya, yang apabila diterima, maka negara akan mengakomodasi ini, dan sistem akuntansi pada gilirannya dapat menerima secara valid untuk dicatat sebagai biaya. Sayangnya bangsa Indonesia yang budayanya mengandung unsur "upeti" alias "uang terima kasih" dalam setiap transaksi bisnis, tetapi menganggap dan mengundang-undangkan hal ini sebagai ilegal (gratifikasi/korupsi).

***

Kembali kepada pengusaha property dan pengembang Jakarta. Jadi dari sisi budaya adalah lazim memberikan "uang terima kasih" kepada Pemerintah (misal Gubernur) yang telah memberikan ijin sehingga perusahaan pengembang tersebut dapat "cuan" gede dari proyek itu. Nah sang Gubernur misalnya yang tidak menafikkan praktek ini, lalu dengan cerdik dan kreatif "mengakomodasi" praktek ini dalam sebuah kreasi legal, yaitu bahwa silahkan perusahaan membuat sumbangsih kepada kota/masyarakat "dibiayakan", dalam bentuk yang sah sesuai ketentuan negara dan akuntansi misalnya sebagai CSR (corporate social responsibility), atau sesederhananya sebagai bagian biaya proyek.

Singkat kata, seandainya, secita-citanya semua Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia yang tidak menafikkan budaya "upeti", dan semuanya sekreatif Gubernur Ahok, dengan kerelaan membuat dan menerjemahkan "budaya upeti", dimana bentuk kreasi itu adalah pembangunan fasilitas kota/ kemaslahatan masyarakat, maka betapa pesatnya sebuah kota atau daerah dan pada gilirannya negara berhasil dibangun.

Signifikankah Nilainya?

Sangat !!!!!

Mengapa kami meneriakan aklamasi ini seolah-olah ini teriakan kegembiraan sekaligus putus asa? Iya, kegembiraan jika Gubernur seperti Ahok, dan putus asa jika Gubernur, Bupati dan Walikota bukan seperti Ahok. Mengapa? Lalu kenapa?

Karena sejak masa Orde Baru, Pofesor Begawan Ekonomi Pemerintah Suharto sendiri pernah menyatakan bahwa anggaran negara "bocor" sebesar rasio 30% (TIGA PULUH PERSEN) dari total anggaran. Bocor ???????? Whatttttttt the .... ??????

Tetapi tidak pernah berhenti disitu, sampai pada zaman Reformasi, dan terakhir zaman Pak SBY terus saja ada informasi mengenai "BOCOR 30%". Ohhh nooooooo.

Jadi angkanya adalah 30% (TIGA PULUH PERSEN). Itulah angka kebocoran yang sudah diamini oleh semua anak-bangsa Indonesia. Nah angka 30% BOCOR itulah yang coba dimanfaatkan oleh Gubernur Ahok. Meskipun tidak seluruhnya, tetapi setidaknya "BOCOR" tersebut dialirkan langsung kepada PROYEK RIIL Fasilitas Kota. Coba jika tidak diEJAWANTAHKAN ke fasilitas kota, maka uang "upeti" itu mestinya telah nyangkut di rekening atau brankas para kepala-kepala dinas, para pimpro proyek Pemerintah yang sifatnya korup sejak dahulu kala sampai sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun