Presiden Jokowi pada Rabu (15/9), memerintahkan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, untuk menurunkan harga jagung pada level peternak. Ternyata, harga jagung sempat pada kisaran Rp6.000 per kilogram di tingkat peternak.
"Pemerintah memang telah menggelontorkan 30 ton jagung hingga akhir Desember 2021. Â Persoalannya kejadian ini selalu berulang tiap tahun sehinga perlu adanya solusi kongkrit," Ketua DPP Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Singgih Januratmoko.
Untuk itu, DPP Pinsar dan Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) meminta pemerintah memiliki cadangan 500.000 ton jagung setiap tahun, "Jagung tersebut dikeluarkan manakala di pasaran sedang minim dan harga terkerek naik," ujar Singgih. Jagung untuk peternak mandiri tersebut bisa dikelola oleh BUMN Pangan, seperti RNI ataupun Bulog.
Singgih mengatakan, ketika jagung langka dan harganya naik di pasaran, bisa dipastikan peternak mandiri bakal bangkrut. Pasalnya, Â jagung merupakan 50 persen komponen pakan, "Tanpa jagung, peternak ayam layer akan kesulitan memproduksi telur yang berkualitas," ujar Singgih.Â
Penyesuaian Harga DOC
PP Pinsar juga meminta pemerintah merevisi harga acuan anak ayam umur sehari (DOC) dan pakan. Harga DOC tersebut menurut Singgih, direvisi dengan merujuk harga ayam hidup atau dibuat harga eceran tertinggi, "Harga ideal DOC adalah 25 persen dari harga ayam hidup," ujarnya.
Selama ini meskipun ada acuan harga DOC sesuai dengan Permendag No. 07 Tahun 2020, namun yang terjadi harga DOC cenderung naik. Faktor yang mempengaruhi harga DOC di tingkat peternak mahal, karena adanya penguasaan Grand Parents Stock (GPS) oleh dua integrator industri perunggasan.
Singgih meminta agar quota impor GPS bisa disalurkan dengan adil kepada peternak mandiri. Selain itu, ia juga meminta agar setiap perusahaan yang memiliki kuota impor GPS, dibatasi maksimal hanya 20 persen agar tercipta keadilan dan pemerataan, "Agar peternak mandiri bisa naik kelas karena memiliki akses ke GPS dan DOC dengan harga yang wajar," imbuhnya.
Ia juga menegaskan, pentingnya segmentasi pasar antara integrator dan peternak mandiri agar ayam-ayam hidup keduanya tak bertemu di pasar tradisional. Pertemuan produksi entitas bisnis perunggasan di pasar tradisional sangat merugikan peternak rakyat. Solusinya perusahaan konglomersi tidak menjual  dalam bentuk ayam hidup tetapi menjual dalam bentuk ayam tanpa bulu.
"Kami juga mengusulkan solusi, bila harga ayam dan telur sedang jatuh, pemerintah dapat menyerap ayam dan telur, untuk disalurkan sebagai bantuan sosial kepada masyarakat. Terutama saat wabah seperti ini, asupan protein sangat penting bagi masyarakat," pungkas Singgih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H