Melatih anak memiliki sikap mandiri dan berani. Keramaian ruang tunggu airport bandara Polonia, di Medan menjelang liburan sekolah merupakan waktu yang tepat bagi saya untuk melatih Josh, anak saya yang baru berumur 4 tahun agar memiliki sikap mandiri dan berani. Pesawat yang akan membawa kami menuju Jakarta ternyata harus delay selama 50 menit dari waktu yang telah ditentukan. Kesempatan itu segera saya manfaatkan untuk melatih Josh dengan memintanya menjaga barang-barang bawaan kami dan dirinya sendiri. "Papa pergi ke toilet dulu ya, tolong Josh jaga semua barang kita dan tunggu papa kembali, ok?" demikian kataku kepadanya. Ia hanya menganggukkan kepala tanda mengerti. Saya segera meninggalkannya menuju toilet. Ketika keluar dari toilet, saya mencari tempat duduk yang agak jauh dari tempat duduk semula, namun tempat itu cukup jelas untuk memantau apa yang sedang dilakukan dan dialami oleh Josh. Saya membiarkan dia sendirian selama kurang lebih 30 menit. Sebenarnya saya ingin membiarkan ia lebih lama lagi, namun matanya menangkap keberadaan saya di tempat itu, dan ia segera melambaikan tangannya, seakan berkata "hai, papa..." sambil tersenyum-senyum. Karena saya sudah ketahuan dari tempat "sembunyi" saya, maka saya beranjak dari tempat duduk itu mendekati dia dan segera bertanya kepadanya,"Bagaimana Josh selama papa pergi? Apakah Josh ada rasa takut?" Dia menjawab saya dengan wajah tersenyum, "Tidak papa. Josh tidak takut." "Bagus" demikian kata saya. Sebagai orangtua, saya merasa kita perlu melatih anak-anak kita terus menerus sejak ia masih kecil, dan tentunya kapasitas pelatihan itu disesuaikan dengan umur dan kondisi dirinya. Apa yang saya lakukan diatas bertujuan untuk melatih ia menjadi anak yang memiliki sikap mandiri dan berani. Untuk mencapai tujuan tersebut, sebagai orangtua, kita dapat melakukan hal-hal berikut ini : 1. Motivasi anak untuk berani mencoba dan bertindak. Sebagai orangtua, seharusnya kita memahami bahwa anak kita tidak mungkin bergantung selamanya kepada kita. Seorang anak harus tumbuh dan berkembang serta menjadi anak yang mandiri. Itu yang terbaik baginya. Ia harus bertumbuh menjadi anak yang dapat mengambil keputusan untuk menentukan pilihan dalam hidupnya, dan hal ini tentu memerlukan keberanian dan kemandirian. Disinilah kepentingan yang harus dipahami oleh setiap orangtua. Untuk melatih anak memiliki sikap mandiri dan berani, kita harus memberikan kesempatan kepadanya untuk mencoba sesuatu yang baru, dan dalam kesempatan tersebut, orangtua memiliki fungsi sebagai motivator bagi anak. Mungkin saja ada banyak ketakutan di dalam diri seorang anak untuk berani mencoba sesuatu yang baru, namun dengan motivasi melalui pendampingan dan kata-kata yang meneguhkan, anak akan merasa "timbul keberanian" untuk mencoba. Bukankah segala sesuatu memiliki waktu pertama kali? Jadi, orangtua harus mendorong anak melalui motivasi agar ia berani melakukan sesuatu hal, misalnya berbelanja sendiri, berenang atau hal-hal baru lain baginya. Saya dan istri memiliki satu hal yang sama dalam melatih anak mengenai kemandirian dan keberanian, yaitu sejak Josh sudah mengerti tentang sesuatu, kira-kira berumur setahun lebih, kami selalu mendiskusikan segala hal yang menyangkut keperluan dirinya dengan dia. Sejak balita sampai dengan hari ini, kami masih terus melakukan hal demikian, yaitu melatih ia berani mengambil keputusan bagi keperluan kehidupannya. Apapun hal yang menyangkut dia, atau terkadang masalah keluarga kami, kami selalu mendiskusikan dengannya. Kami berprinsip bahwa ia merupakan bagian dari keluarga yang harus ikut bertanggungjawab terhadap apa yang akan terjadi dalam keluarga. Kami melihat hasil dari pelatihan ini. Ia menjadi anak yang berperilaku hati-hati, kritis, peduli dan mandiri serta berani ikut bertanggungjawab atas kehidupan keluarga kami. Ada kalanya kami begitu terharu karena ia mampu memiliki empati terhadap anggota keluarga. Seringkali ia mendatangi mamanya ketika baru saja pulang kerja, kemudian bertanya "mama capek?" Lalu ia mengambil posisi berada di belakang punggung mamanya dan tanpa disuruh, ia segera memijat bahu mamanya dan selalu berusaha membuat orangtuanya nyaman ketika kami kelelahan. Setiap kali ketika saya sedang tidak di rumah karena tugas ke luar kota, saya selalu berpesan bahwa ia harus bertanggungjawab menjaga mamanya. Saya selalu berkata, "Josh, selama papa pergi, Josh harus jaga mama ya, dan kalau mau apa, harus lakukan sendiri ya". Hal itu benar-benar dia lakukan dengan penuh tanggungjawab, misalnya, suatu siang, mamanya berkata kepadanya, "Josh, mama capek sekali. Mama tidur sebentar ya. Josh kalau mau minum, ambil sendiri ya." Selama istri saya tidur di sofa, Josh tidak pernah meninggalkan mamanya. Ia menjaga mamanya sambil mengambar dan mewarnai, sampai mamanya bangun, bahkan ia mengambilkan mamanya minum. Sikap kemandirian, tanggung jawab dan keberaniannya itu membuat saya selalu tenang takkala harus meninggalkan keluarga karena tugas pekerjaan. Sikap mandiri dan berani pada seorang anak akan lahir bila orangtua tekun dan konsisten melatihnya secara berkesinambungan, dan sikap terbaik untuk melatih hal tersebut adalah berikan motivasi yang tepat melalui kata-kata, sikap dan tindakan, misalnya simulasi dan contoh dari orangtuanya. 2. Disiplin dan Kasih yang seimbang. Seorang anak tetaplah seorang anak. Prinsip ini juga harus disadari oleh orangtua ketika mendidik anaknya untuk bersikap mandiri dan berani. Artinya, ketika orangtua melatih anak agar bersikap mandiri dan berani, ia harus menyadari bahwa tidak selamanya anak akan bersikap sesuai dengan yang kita harapkan. Mungkin saja anak memang mandiri dan berani, namun untuk hal-hal yang salah, atau timbul penafsiran yang keliru, misalnya ia berani tidak mau masuk sekolah. Mungkin hal ini dapat saya berikan contoh melalui kejadian berikut ini. Suatu pagi, saya mencoba membangunkan Josh untuk segera bersiap pergi ke sekolah. Namun, entah apa yang dia pikirkan di pagi hari itu. Berulangkali saya mengoyangkan badannya agar ia segera bangun namun ia tetap tidak mau beranjak dari tempat tidurnya. Kemudian saya mengendongnya ke lantai bawah dan mendudukannya di sofa ruang tamu kami. Setelah melihat dia sudah segar, saya berkata kepadanya,"Josh, kamu harus segera pergi ke sekolah. Cepat mandi dan makan ya." Tanpa saya sangka, dia menjawab saya, "Aku tidak mau pergi ke sekolah hari ini. Aku mau di rumah saja, mau main-main di rumah saja." Saya menghentikan langkah saya menuju pintu rumah, dan berbalik ke arahnya, sambil berkata, "Apa? Josh tidak mau ke sekolah?", "Iya pa, hari Josh tidak mau ke sekolah" dia mengulangi kalimatnya kembali. "Benar, Josh tidak ke sekolah?" Dia menganggukan kepalanya sebagai tanda menjawab pertanyaan saya. Kemudian saya duduk disampingnya, dan berkata, "Josh tahu, papa mau Josh ke sekolah. Josh harus ke sekolah untuk belajar, dan sekolah itu baik. Kenapa Josh tidak mau ke sekolah?" "Aku mau di rumah saja Pa, mau main-main di rumah." "Jadi, Josh benar tidak mau ke sekolah? Papa mau Josh ke sekolah. Tetapi, papa kasih Josh pilih sekarang, Josh mau ke sekolah atau tidak. Kalau Josh tidak mau ke sekolah, maka Josh tidak boleh nonton TV, main ke rumah Koko Justin (temannya di sebelah rumah kami) dan harus tinggal di rumah, tidak akan papa ajak ke manapun hari ini sampai malam nanti. Josh, boleh pilih?" Akhir pembicaraan kami, Josh memilih tidak mau ke sekolah dan bersedia menanggung konsekuensi dari pilihanya tersebut. Maka, kemudian saya menyampaikan pilihan dan konsekuensinya kepada pembantu di rumah kami, agar dia juga ikut melaksanakan pilihan Josh tersebut. Satu sisi, saya harus mengapresiasi sikap dan pilihannya yang mandiri dan berani, namun di sisi lain, saya tahu bahwa itu adalah keberanian dan kemandirian yang salah, dan sebagai orangtua, saya harus mengajarkan hal yang benar dan tepat bagi kehidupannya. Maka, sepanjang hari itu, saya, istri dan pembantu di rumah menjalankan keputusan pilihannya. Ia tidak pergi ke sekolah dan konsekuensinya, ia tidak boleh nonton TV/Film kesukaannya dan bermain dengan teman akrabnya. Malam hari, sebelum kami tidur, saya memanggil dan mengajaknya berbicara kembali tentang keputusan hari ini, dan hasil pembicaraan itu tercapai tujuan yang seharusnya, yaitu ia mengerti bahwa keputusannya adalah salah dan berjanji mulai besok akan selalu ke sekolah. Pembicaraan itu saya akhiri dengan pelukan baginya. Sebagai orangtua, kita bertanggungjawab mendidik anak kita untuk bersikap mandiri dan berani dalam hal yang benar dan tepat. Jangan sekali-kali kita biarkan anak kita hidup dalam sikap mandiri dan berani untuk hal yang salah. Kita harus berani mendisiplinnya takkala ada keputusan atau tindakan yang berani dan mandiri namun salah. Nasehat itu sudah disampaikan Tuhan melalui FirmanNya,"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." (Amsal 22:6) Artinya, didik dan disiplinlah anak kita selagi ia masih muda, dan hendaklah kita ingat, dalam pendisiplinan tersebut, seimbangkanlah dengan kasih yang nyata baginya. Setiap kali saya mendisiplin anak saya, saya tidak lupa menunjukkan kasih kepadanya, misalnya, saya menyuruh teman-temannya pulang ketika mau mendisiplinnya, agar ia tidak merasa dipermalukan, atau setiap kali ia selesai menjalani disiplin, saya selalu memeluknya. Bagi saya, demikianlah keseimbangan antara disiplin dan kasih untuk mendidiknya menjadi pribadi yang bersikap mandiri dan berani. SELAMAT MENDIDIK ANAK BERSIKAP MANDIRI DAN BERANI. BAGAIMANAPUN SITUASI KELUARGA KITA, TETAPLAH SEMANGAT DAN PANTANG MENYERAH UNTUK MENDIDIK ANAK KITA SEBAB  ANAKKON HI DO HAMORAON DI AU.* * Bahasa Batak Toba : Anakku Kekayaanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H