Mohon tunggu...
Peter Coleson Chow
Peter Coleson Chow Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Pelajar SMA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pelajar Kolese Kanisius Menyelami Kehidupan di Pondok Pesantren Al-Falah

22 November 2024   08:34 Diperbarui: 22 November 2024   09:03 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 30 Oktober 2024, 25 siswa Kolese Kanisius Jakarta melakukan kunjungan ke Pondok Pesantren Al-Falah di Pandeglang untuk memperluas wawasan serta mengenal lebih dekat budaya dan kehidupan di pesantren dalam kegiatan ekskursi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memahami sisi lain dari agama lain dan belajar bertoleransi sebagai umat beragama. Seperti yang pernah dikatakan oleh Helen Keller, "Hasil pendidikan tertinggi adalah Toleransi."


Perjalanan dari Jakarta menuju Pandeglang memakan waktu sekitar 2 hingga 3 jam. Para siswa Kolese Kanisius melakukan perjalanan ke pondok pesantren menggunakan bus. Terlihat dari raut wajah para siswa yang tampak kurang siap menghadapi dinamika kehidupan di pesantren, mengingat stigma yang selama ini mereka ketahui tentang pesantren.


Sesampainya di Pondok Pesantren Al-Falah, para siswa dan guru Kolese Kanisius disambut hangat oleh penduduk setempat, terutama oleh para pengurus pondok pesantren. Pondok Pesantren Al-Falah dikelola oleh Kyai Haji Halwani, yang dengan hangat menyambut kedatangan para siswa Kolese Kanisius dan memandu mereka untuk mengenal lebih jauh tentang kehidupan di pesantren.
Para siswa Kolese Kanisius dibagi ke dalam lima kelompok, yang masing-masing berisi sekitar empat hingga lima siswa, sebagai kelompok dalam kegiatan sekaligus untuk pembagian ruang kamar yang disebut "kobong" oleh penduduk setempat.


Saya dibimbing menuju kobong-kobong yang akan ditempati. Jalan yang semula luas dan terbuka perlahan menyempit dan semakin sulit dilalui. Tanah yang becek dan penuh lumpur membuat setiap langkah terasa lebih berat. Di sepanjang jalan, terlihat deretan kobong para santri yang sederhana, berdiri rapat satu sama lain dengan dinding yang sudah mulai lapuk dan tampak lembab. Tembok-tembok kobong banyak dihiasi coretan-coretan yang dibuat oleh para santri, meninggalkan kesan tempat yang kurang terawat. Setelah masuk ke dalam kobong, saya melihat ke kanan dan ke kiri. Ruangan terasa sangat gelap, bagaikan sebuah ruang tanpa sinar matahari atau cahaya yang masuk. Ruangan yang seharusnya cukup untuk empat orang kali ini dihuni oleh sepuluh orang. Tidak ada perabotan di dalamnya, bahkan kasur sekalipun. Para santri dan siswa Kolese Kanisius harus tidur di lantai yang hanya dilapisi matras tipis, merasakan kesederhanaan yang ada di sana.


Pagi pun tiba, tepatnya pukul empat pagi. Suara adzan yang keras dari masjid memecah keheningan pagi dan menandakan saatnya untuk melaksanakan Sholat Subuh. Suara adzan tersebut menjadi panggilan bagi para santri untuk segera bangun dan memulai aktivitas mereka dengan ibadah. Namun, bagi para siswa Kolese Kanisius yang belum terbiasa, suara adzan itu sangat menusuk telinga karena volumenya yang sangat keras. Di waktu yang sama, banyak santri yang belum bangun, membuat Pak Haji di sana mengetuk pintu dengan kayu dengan sangat keras, yang semakin membuat kepala pusing karena suara yang sangat menggema.


Setelah menyelesaikan ibadah dan kebutuhan pribadi, para santri dan siswa Kolese Kanisius mengikuti pembelajaran di SMK Al-Falah. Para siswa Kolese Kanisius dan para santri saling berbagi ilmu dan cara belajar yang berbeda. Sekolah di SMK Al-Falah berlangsung dari pukul 07.00 hingga 14.30. Para siswa-siswi di SMK Al-Falah terlihat sangat senang dengan kehadiran siswa-siswa Kolese Kanisius karena bisa berdinamika bersama dan saling berbagi cerita.


Berdasarkan wawancara dengan Kyai Haji Halwani, SMK Al-Falah mulai digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar bagi para siswa dan santri Pondok Pesantren Al-Falah pada tahun 2015. Sebelumnya, para santri bersekolah di SMA 2, SMA 3, dan MAN. Selain itu, sebelum tahun 2015, Al-Falah merupakan pondok pesantren salafiyah di mana para santri hanya mengaji tanpa mengikuti kegiatan belajar-mengajar formal.


Para siswa dan santri di SMK Al-Falah menjalani kehidupan yang lebih tenang dibandingkan dengan kehidupan di Jakarta, meskipun mereka tetap memiliki rutinitas yang padat, terutama dalam beribadah. Hari mereka dimulai dengan bangun pukul 04.00 untuk melaksanakan Sholat Subuh, dilanjutkan dengan belajar bahasa Arab, dan kemudian Sholat Dzuhur. Setelah itu, mereka kembali ke kobong masing-masing untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke sekolah, yang dimulai pukul 07.00 dan berakhir pukul 14.30. Proses belajar di sekolah ini terasa berbeda, dengan pelajaran yang jarang disertai tugas, sehingga mereka merasa lebih santai. Di tengah kegiatan sekolah, mereka memiliki tiga kali waktu istirahat, salah satunya berlangsung selama satu jam untuk melaksanakan Sholat Ashar. Setelah pulang dari sekolah, mereka kembali ke kobong untuk beristirahat hingga tiba waktunya Sholat Magrib dan Sholat Isya.


Di hari-hari terakhir, kebersamaan bersama para santri di Pondok Pesantren Al-Falah terasa sangat intim. Suka dan duka yang kami alami bersama membuat hubungan antara kami, baik para santri maupun siswa Kolese Kanisius, menjadi sangat dekat. Banyak pengalaman yang kami lalui bersama, yang membuat kami merasakan kerinduan terhadap para santri di pondok pesantren. Salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono berikut ini sangat menggambarkan cerita dan perasaan selama di Pondok Pesantren Al-Falah,


Ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang.


Puisi ini menggambarkan proses perpisahan dan pelepasan dari masa lalu, dengan kenangan-kenangan yang disimpan rapat-rapat namun tetap meninggalkan bekas dalam perjalanan hidup kami sebagai pelajar Kolese Kanisius. Secara keseluruhan, pengalaman ekskursi di Pondok Pesantren Al-Falah sangat menarik dan memberikan pengalaman yang berkesan dan membekas di hati. Dari pengalaman ini, kami belajar untuk bertoleransi antar umat beragama. Sebuah motto yang bijak dari Helen Keller, yang telah dikutip sebelumnya, menjadi pegangan hidup bagi kami, siswa Kolese Kanisius: "Hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi, karena semakin seseorang paham perbedaan, dia akan paham makna kebersamaan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun