Mohon tunggu...
Peter Coleson Chow
Peter Coleson Chow Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Pelajar SMA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menanggulangi Krisis Moral, Pemerintah dan Masyarakat Bersatu Hadapi Tantangan Pornografi di Era Digital

6 November 2024   13:40 Diperbarui: 6 November 2024   13:40 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus Pornografi di Indonesia
Dalam empat tahun terakhir, kasus pornografi anak di Indonesia menembus lima juta konten. Konten pornografi muncul di media online dan juga permainan atau game online yang sangat mudah untuk diakses oleh anak-anak saat ini. Terdapat perbedaan jumlah data yang sangat signifikan antara kasus yang dilaporkan  dengan jumlah temuan Kemenkominfo.

Konten pornografi itu sendiri berdampak pada kondisi psikologi anak. Adapun nuga beberapa kondisi yang membuat anak-anak membuka atau mengakses konten pornografi. Kondisi tersebut disebut dengan BLAST; boring (bosan), lonely (sepi), angry (marah), stress (tertekan), dan tired (lelah). Ketika berada dalam kondisi itu, anak-anak cenderung mencari pelarian ke arah negatif sehingga merugikan dirinya sendiri

Dampak Negatif Pornografi dan Upaya Pemerintah
Kasus pornografi di Indonesia menjadi isu yang semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mempermudah akses terhadap situs dan konten-konten pornografi. Hal ini memberikan dampak negatif pada perkembangan mental para remaja yang berada di usia yang muda. Berbagai organisasi dan pemerintah bekerja dengan sangat keras untuk mengatasi masalah pornografi tersebut.

Sebagai upaya untuk menyelamatkan generasi masa depan bangsa Indonesia dari pornografi, maka pemerintah memperkuat regulasi dalam  pencegahan dan penanganan pornografi. Pemerintah memiliki regulasi berupa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Gugus Tugas pencegahan dan Penanganan Pornografi. Dalam pelaksanaannya, pemerintah tidak lagi hanya mencegah penyebaran pornografi namun bertindak untuk mengatasi masalah tersebut. Pemerintah telah merumuskan penguatan Perpres yang sudah ada supaya lebih komprehensif untuk menangani masalah pornografi termasuk rehabilitasi korban, penegakan hukum, kerja sama internasional. Revisi dari Perpres ini akan dilengkapi dengan rencana aksi yang lebih rinci, penguatan regulasi di daerah serta gerakan nasional pencegahan dan penanganan pornografi. Salah satu regulasi dari pemerintah adalah dengan membentuk KPAI. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melakukan berbagai aksi untuk mencegah pornografi dan melindungi anak-anak. Adanya pembentukan Rencana Aksi Nasional (RAN) lalu pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (GTP3) lewat Perpres No.25/2012 sebagai awal dalam proses pencegahan pornografi di Indonesia. Dapat diakui bahwa kinerja dalam menangani kasus pornografi belum dilaksanakan secara optimal seiring dengan kinerja gugus tugas yang diketahui kurang aktif.

Tidak hanya dalam pemerintahan, masalah pornografi juga dibahas melalui Jurnal Perempuan edisi 38 dengan judul "Pornografi". Dalam jurnal ini, dapat didefinisikan bahwa masalah pornografi masih terus diperdebatkan. Banyak RUU antipornografi dipenuhi dengan ambiguitas moral. Terjadinya ambiguitas moral karena adanya perbedaan nilai dan budaya, apa yang dianggap sebagai pornografi atau tidak senonoh bisa sangat berbeda tergantung pada latar belakang budaya, agama, dan pandangan moral individu atau kelompok. Misalnya, sebuah gambar atau video yang dianggap vulgar dalam satu budaya bisa diterima sebagai seni atau bentuk ekspresi di budaya lain. Kedua, adanya kebebasan pribadi melawan perlindungan masyarakat, terdapat satu sisi yang menyatakan bahwa kebebasan pribadi untuk mengakses atau memproduksi materi pornografi adalah hak individu yang harus dilindungi. Di sisi lain, ada argumen bahwa pornografi dapat merusak moralitas publik dan menimbulkan dampak negatif, seperti kekerasan seksual atau eksploitasinya terhadap perempuan dan anak-anak. Kedua pandangan ini sering kali bertentangan dan menciptakan kebingungan dalam merumuskan kebijakan atau hukum yang jelas. Ketiga, adanya pengaturan dan pembatasan, menyeimbangkan antara melindungi masyarakat dari dampak negatif pornografi dan menghindari pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi atau hak-hak individu adalah hal yang sulit. Ketidaktegasan tentang berita pornografi membuat kebijakan sering kali menjadi perdebatan. Keempat, dampak sosial dan individual, adanya beberapa pihak berargumen bahwa pornografi dapat merusak struktur sosial dan mempengaruhi pandangan orang terhadap seksualitas, sementara pihak lain melihatnya sebagai masalah pribadi yang tidak perlu diatur secara ketat oleh negara atau pemerintah.

Masyarakat perlu menyadari bahwa perempuan seringkali menjadi korban dalam berbagai situasi, termasuk kekerasan seksual dan eksploitasi, sementara penyebaran penyakit menular seksual (PMS) semakin meluas. Larangan terhadap pornografi yang tidak disertai pendekatan yang tepat dapat mendorong munculnya praktik pornografi gelap yang lebih sulit dikendalikan, bahkan dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak. Selain itu, pelarangan aborsi berpotensi meningkatkan jumlah aborsi ilegal dan tidak aman, yang berisiko membahayakan keselamatan banyak perempuan. PBB menekankan pentingnya perlindungan terhadap perempuan sebagai korban eksploitasi serta anak-anak yang belum siap secara fisik dan psikologis untuk menghadapi dampak-dampak seksual. Oleh karena itu, larangan terhadap pornografi secara sembarangan bisa berisiko membuat perempuan kembali menjadi korban eksploitasi, bukannya melindungi mereka.

Peran Masyarakat dalam Menanggulangi Pornografi
Indonesia memiliki peraturan yang ketat mengenai pornografi. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengatur tentang produksi, distribusi, dan konsumsi konten pornografi. Namun dalam menghadapi masalah yang ada di Indonesia, pemerintah masih menghadapi banyak sekali tantangan, seperti sulitnya mendeteksi pelanggaran di media sosial, sulitnya mendeteksi konten pornografi yang ditampilkan, dan keterbatasan sumber daya. Kasus penyebaran pornografi biasanya disebar melalui media sosial ataupun internet yang tidak diketahui penyebarnya atau anonim.

Selain aspek hukum, pendidikan dan kesadaran masyarakat juga memegang peranan penting dalam menanggulangi masalah pornografi. Banyak lembaga pendidikan mulai memasukkan pendidikan seksual yang berguna untuk memahami tentang bahayanya dampak seks di luar pernikahan pada kurikulum. Orang tua juga harus terlibat dalam mendidik anak-anaknya tentang penggunaan internet. Melalui pendekatan yang baik antara anak dan orang tua, kasus penyebaran konten pornografi di Indonesia dapat menurun dan melindungi anak-anak di usia yang muda.

Peran teknologi dalam mengatasi masalah pornografi tidak bisa diabaikan. Saat ini, terdapat berbagai aplikasi yang dapat membantu orang tua dan anak untuk membatasi konten-konten yang tidak ingin dilihat. Selain itu, penyedia layanan internet juga sudah memblokir situs-situs terlarang terutama situs pornografi yang ketika dibuka tidak akan menampilkan situsnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun