Pemekaran wilayah pemerintahan merupakan suatu langkah strategis yang ditempuh oleh Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan baik dalam rangka pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan menuju terwujudnya suatu tatanan kehidupan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, adil dan makmur.
Dengan perkataan lain, hakikat pemekaran daerah otonom lebih ditekankan pada aspek mendekatkan pelayanan pemerintahan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pemekaran daerah merupakan cara atau pendekatan untuk mempercepat akselerasi pembangunan daerah dan daerah otonom baru yang terbentuk itu pada arasnya merupakan suatu entitas baik sebagai kesatuan geografis, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Secara normatif pembentukan suatu daerah otonom baru dapat diadakan oleh Pemerintah antara lain melalui pemekaran daerah otonom. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 4 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam kehidupan berpemerintahan, disadari disatu pihak tuntutan kebutuhan masyarakat makin lama semakin meningkat dan kompleks, sementara pada sisi yang lain, kinerja Pemerintah untuk memenuhi segala tuntutan kebutuhan masyarakat tersebut harus diakui belum optimal oleh karena berbagai alasan baik alasan lokasional, alasan keterbatasan sumber daya maupun teknis administratif dan sebagainya.
Hal mendasar dilakukannya pemekaran wilayah adalah adanya keinginan untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik dengan jalan berotonomi.
Selanjutnya mengenai konsep otonomi daerah, dapat dikemukakan bahwa dari segi leksikografis, otonomi berati pengundangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi untuk Indonesia, pengertian otonomi selain berarti perundangan (regeling), juga berarti pemerintahan (bestuur). Sebagai suatu konsep, menarik perhatian para ahli diantaranya van Der Pot berpendapat bahwa autonomie betekent anders dan het woord zou doen vermoeden regeling en bestuur van eigen zaken, van wat dei grondwet noemt eigen huishoulding sedangkan Schrieke mengemukakan bahwa outonomie adalah eigen meesterchap, selfstandingheid bukan onafthankelijkheid (Koesoemahadmadja, 1979). Sejalan dengan pemikiran kedua ahli diatas, Syafruddin (1983) berpendapat bahwa otonomi bermakna kebebasan atau kemandirian (selfstandingheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafthankelijheid).
Menurut Muslimin (1978) berpendapat bahwa Otonomi Daerah berarti pemerintahan sendiri (Zelfregeling), (auto = sendiri, nomos = pemerintah). Sedangkan Sarundajang (1999 : 31) menjelaskan bahwa “Otonomi adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan dan intervensi pihak lain”. Selanjutnya Manan (1994) menyatakan, “Otonomi mengandung arti kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan (rumah tangganya) sendiri”.
Berdasarkan pemikiran para ahli diatas maka pada hakikatnya budaya otonomi daerah yang tertinggi adalah kemandirian. Kemandirian Daerah harus menjadi penyangga bagi tetap terjaga dan terpeliharanya eksistensi negara dan bangsa. Dengan kata lain, bagaimana mencari titik keseimbangan antara kehendak politik “Centrifugal” yang melahirkan politik desentralisasi dan menduduki posisi “Centripetal” yang melahirkan sebagian sentral power untuk menjamin tetap terpeliharanya identitas dan integrasi bangsa.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan dan atau kemandirian dari Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan berdasarkan prakarsa atas dasar aspirasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka dari itu, ide yang dilontarkan oleh arus bawah berarti bahwa konsepsi terkait secara langsung dimana prinsip dasar demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat akan memberikan pada setiap warga negara kemungkinan untuk menaiki jenjang atas skala sosial dan dengan demikian menurut hukum membuka jalan bagi hak-hak masyarakat untuk meniadakan semua hak istimewa yang dibawa sejak lahir, serta menginginkan agar perjuangan demi keunggulan dalam masyarakat ditentukan semata-mata oleh kemampuan seseorang (Riwu Kaho 1998 : 112).
Apabila kebutuhan untuk mekar tersebut tidak dilandasi oleh keinginan sekelompok orang ataupun orang tertentu maka daerah tersebut perlu untuk dimekarkan dan sebaliknya jika hanya merupakan keinginan kelompok dan orang-orang tertentu sebaiknya tidak perlu dimekarkan karena hanya akan membawa masalah baru bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H