Seseorang memberi judul pada karya--entah itu tulisan, lagu, lukisan, dan lain sebagainya--setidaknya mempunyai tiga maksud. Pertama sebagai penjelas kepada karya. Dengan membaca judul, kita tahu gambaran besar sebuah karya, bahkan tidak perlu bertanya lagi maksud dari karya.
Misal saja lagu dari Mulan Jameela, Makhluk Tuhan Yang Paling Sexy. Agak lebih lawas, Astrid, Jadikan Aku Yang Kedua. Tidak sulit memahami, lagu itu berisi 'tak apa menjadi kedua asal dibuat bahagia'.
Kemudian, judul sekedar identitas, entah judul tersebut berkaitan dengan isi karya atau tidak sama sekali. Biasanya mempunyai judul pendek, satu dua kata, tetapi satu dua kata itulah benang merahnya. Saya kira, Goenawan Muhammad termasuk tipe ini.
Coba lihat lima esai awal di Catatan Pinggir 10 Gonawan Muhammad, ada Titorelli, Kalender, Aktor, Di Islandia, dan Komunisme. Esai berjudul 'Kalender' misalkan, tidak membicarakan apa itu kalender, musim, hari, bulan, tahun, atau sistem penanggalan masehi. Tidak! esai itu, mungkin, bercerita kelatahan manusia merayakan tahun baru, sebuah ritual yang diulang-diulang tanpa makna.
Ketiga, judul dibuat sebagai pengecoh. Judul dan isi karya kadang tidak nyambung. Judul dipajang supaya menarik massa kepada karya walau karya, ya itu tadi, tidak sesuai dengan judul. Anda bisa menjumpainya di video-video Youtube.
Judul video Youtube, ada embel-embel 'paling lucu...', 'terfenomenal...", "harus dilihat..." atau judul heboh lainnya. Sayangnya, ketika di tonton tidak seheboh judulnya. Tampak memang, semakin heboh sebuah judul semakin mengundang orang lain untuk melihat. Otomatis traffic video meningkat. Tidak hanya video Youtube, tulisan website pun kadang melakukan hal serupa.
Di toko buku, ada sebuah buku bercover pink dengan judul yang menggelitik saya “Dear Felix Siauw – Sekedar Koreksi, Biar Enggak Sesat Persepsi“. Buku yang ditulis oleh Sulthan Fatoni, Wakil Sekjend PBNU, mengoreksi terhadap pandangan-pandangan keagamaan yang katanya nyeleneh dari Ustadz Felix Siauw, misal seperti penentuan awal Dzulhijjah, selfie, nasionalisme, khilafah, dan lainnya.
Apa saya membeli buku itu? Saya tidak membelinya, melihat buku itu ditujukan khusus untuk Ustadz Felix. Lagipula saya beranggapan buku koreksi seperti ini sebaiknya disampaikan langsung. Entah sebelumnya oleh penulis buku sudah diberikan langsung ke bersangkutan apa tidak.
Ada tujuan di balik judul. Bisa jadi sekedar mencari sensasi. Dan orang yang teledor, tidak kroscek kesesuain judul dengan isi, mudah menjustifikasi, kadang menyesatkan. Sayangnya, orang seperti itu tidak sedikit. []peta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H