dalam Perspektif Teologi
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, “Aceh Luluh Duka” itulah judul besar dikoran Harian Serambi hari kamis 8/12/16. Aceh Kembali diterpa bencana Gempa di bulan desember; dibulan yang sama juga Aceh diluluh lantakkan dengan terjangan Tsunami yang maha dahsyat pada tahun 2004 silam. Rakyat Aceh sepertinya begitu dekat dengan berbagai macam bencana dan musibah, mulai dari perang Aceh yang tak pernah padam melawan kolonial Belanda dilanjutkan dengan konflik Gerakan Aceh Merdeka hingga bencana yang maha dahsyat yaitu Tsunami kemudian ditambah lagi dengan berbagai macam bencana seperti longsor, banjir, kemarau diberbagai kabupaten di Aceh hingga kini yang terakhir yaitu gempa yang berpusat dikabupaten Pidie Jaya.
Dengan hadirnya berbagai macam bencana kepada rakyat Aceh, apakah ini merupakan suatu teguran dari sang Maha Khalik atau ujian buat rakyat Aceh. Masalah Fenomena alam ini jika dilihat dari sudut pandang teologi bahwa fenomena alam ini terbagi menjadi dua yaitu kebiasaan (berhubungan dengan causalitas/sebab-akibat, berhubungan dengan ilmu pengetahun dan bersifat rasional) dan luar biasa (kebalikan dari kebiasaan) seperti mukjizat, ilham, irkhas, karamah dan ma’unah, yang mana teologi klasik membahas masalah kebiasaan dan luar biasa sedangkan teologi modern membahas masalah kebiasaan saja.
Karakteristik dari teologi klasik ini ialah ia bersifat teosentris, yang dimaksud dengan teosentris ialah berbicara tentang Tuhan dalam dimensi transendental, berkelana dalam cakrawala langit yang sakral. Oleh karena itu, jika bencana dan segala musibah itu datang kepada manusia itu memang sudah ditentukan oleh Allah melalui Kehendak-Nya dan takdir-Nya sebab itu manusia harus menguatkan iman dan kesabaran bahwasannya segala sesuatu itu sudah ditentukan oleh Allah swt.
Adapun teologi modern ia bersifat antroposentris, yang dimaksud dengan antroposentris ialah memahami nilai-nilai ketuhanan yang ada dalam konstruksi teologi untuk kepentingan manusia, bahwa nilai-nilai transendental yang teologi diproyeksikan sebagai sumber energi bagi manusia dalam mewujudkan transformasi sosial. Dalam perspektif seperti ini bahwa apapun itu musibahnya datang dari Allah bahwa manusia harus menghadapinya dan setelah itu manusia harus bangkit dan berjunag dari musibah tersebut untuk melanjutkan kembali kehidupan seperti biasannya dan tidak ada lagi rasa duka.
Bagaimana Aceh diluluh lantakkan dengan Tsunami tahun 2004 silam, tapi Aceh tidak lama dalam penderitaan duka. Aceh kemudian bangkit dengan membangun berbagai macam fasilitias dan boleh dikatakan bahwa Aceh lebih maju setelah Tsunami ini membuktikan bahwa rasa semangat, bangkit dari duka bisa memaju energi positif untuk lebih maju lagi.
Semoga saudara-saudara kita yang ada dikabupaten Pidie, Pidie Jaya dan Bireuen bisa menghapi musibah ini dengan sabar dan dengan kekuatan iman yang teguh. Kita doákan mudah-mudahan setelah bencana ini masyarakat bisa bangkit kembali dari musibah dengan semangat dan menjadi ibrah bagi kita semua bahwa bencana kapan aja bisa datang sesuai dengan kehendak Allah oleh karena manusia juga harus menjaga alam dan lingkungannya agar bencana jauh dari kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H