Mohon tunggu...
Pery Padly
Pery Padly Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalis

Jurnalis Investigasi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pandangan Pluralistik Agamis dan Nasionalis: Pilar Peradaban Madani dalam Bingkai Demokrasi NKRI

26 Desember 2024   19:23 Diperbarui: 26 Desember 2024   19:23 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: Peradaban Madani Dalam Bingkai Demokrasi NKRI (Sumber: Fadly)

Indonesia, negeri yang dianugerahi keberagaman budaya, agama, dan bahasa, memiliki tantangan besar sekaligus peluang emas untuk membangun peradaban madani yang harmonis. Dalam bingkai demokrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pluralisme agamis dan nasionalisme menjadi dua fondasi utama dalam merawat keberagaman dan memperkuat kohesi sosial. Sejumlah pemikiran para ahli menegaskan pentingnya kedua nilai ini sebagai pilar bangsa yang adil, inklusif, dan berdaya saing.

Pluralisme Agamis: Perspektif Religius dalam Keberagaman

Menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), pluralisme adalah sebuah keharusan bagi masyarakat Indonesia, mengingat keberagaman adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Cak Nur menegaskan bahwa pluralisme bukan sekadar "hidup berdampingan," tetapi sebuah sikap untuk saling memahami, menghormati, dan bekerja sama dalam perbedaan. Dalam bukunya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, ia menyatakan bahwa pluralisme agamis di Indonesia harus berbasis pada ajaran-ajaran universal agama, seperti keadilan, kasih sayang, dan solidaritas.

Selain itu, Komaruddin Hidayat, seorang pakar filsafat agama, menyebutkan bahwa pluralisme agamis adalah kunci untuk menghindari konflik berbasis agama. Dalam tulisannya, ia menekankan pentingnya pendidikan lintas agama dan dialog antarumat sebagai cara untuk membangun pemahaman bersama. "Keberagaman adalah anugerah, tetapi tanpa pengelolaan yang baik, ia bisa menjadi sumber konflik," ujarnya.

Praktik pluralisme ini juga harus melawan segala bentuk diskriminasi dan ekstremisme, sebagaimana diungkapkan oleh Karen Armstrong, seorang ahli sejarah agama. Dalam buku The Case for God, Armstrong menyatakan bahwa nilai-nilai keagamaan yang inklusif dan humanis harus menjadi penangkal radikalisme dan ekstremisme yang kerap memecah belah masyarakat.

Nasionalisme: Perekat Keutuhan di Tengah Perbedaan

Nasionalisme Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam Imagined Communities, adalah nasionalisme yang bersifat inklusif. Ia mencatat bahwa keberagaman budaya dan tradisi lokal di Indonesia harus menjadi kekuatan untuk mempersatukan, bukan memisahkan. Menurut Anderson, semboyan Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan karakter nasionalisme Indonesia yang unik, yaitu memandang perbedaan sebagai aset, bukan ancaman.

Soekarno, dalam pidato-pidatonya, sering menekankan nasionalisme yang tidak bertentangan dengan internasionalisme. "Nasionalisme yang sehat adalah nasionalisme yang mengakui keberadaan dunia luar dan berusaha untuk hidup harmonis di dalamnya," katanya. Pandangan ini relevan dengan konteks modern, di mana nasionalisme tidak boleh menjadi alat untuk memaksakan homogenitas, tetapi harus menjadi perekat yang merangkul perbedaan sebagai kekayaan bangsa.

Yudi Latif, seorang pakar Pancasila, dalam bukunya Negara Paripurna, menyoroti pentingnya nasionalisme berbasis Pancasila. Ia menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia harus selalu menempatkan keadilan sosial sebagai tujuan utama. "Kesejahteraan kolektif adalah inti dari nasionalisme kita," tegasnya.

Demokrasi: Ruang untuk Dialog dan Partisipasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun