Mohon tunggu...
Yos Simbolon
Yos Simbolon Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa dan pengamat tanah air.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Menuju ke Depan dari Perspektif Unity in Diversity

6 Agustus 2014   21:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:15 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keragaman budaya, keragaman agama dan keragaman bahasa adalah sekian dari banyaknya harta kekayaan negara kita, Republik Indonesia. Ketika kita mendengar kata “Indonesia”, banyak hal positif maupun negatif yang keluar dibenak kita. Kalau saya diminta untuk mendeskripiskan negara kita dalam satu atau dua kata, mungkin saya akan bilang Indonesia itu indah tapi rumit.

Iya, indah karena kita adalah bangsa yang terdiri 17 504 pulau, 1340 suku dan 546 bahasa. Tidak banyak bangsa di dunia yang memiliki keragaman budaya seperti negara kita. Bahkan sejarah mencatat bahwa dahulu sebelum kemerdekaan, Indonesia terdiri dari banyak kerajaan dimana setiap raja yang berkuasa memiliki ambisi yang berbeda-beda. Lalu, bagaimana kita bisa menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Semua berawal dari cita-cita bersama kita untuk bangun dan berdiri tegak di hadapan para penjajah, hanya dengan satu tujuan. Melawan penderitaan, demi mempimpin diri kita masing-masing tanpa campur tangan bangsa asing. Tidak ada dulu yang namanya, perbedaan agama, perbedaan keyakinan maupun perbedaan suku. Dulu kita semua berdiri bersama, sejajar tanpa neko-neko tanpa ideologi-ideologi yang merusak unity in diversity kita.

Lalu, mengapa Indonesia sekarang menjadi sedikit rumit dalam hal ini? Seiring perkembangan jaman dan arus media yang semakin mengambil peranan dalam kehidupan sehari-hari.. Semakin banyak Warga Negara Indonesia yang seolah-olah melupakan keanekaragaman kita. Saya prihatin dengan banyaknya isu-isu SARA yang kian menjadi a heated topic. Sebut saja, ketika pemilu kemarin banyak sekali black campaign berbau SARA. Dan saya terkejut ketika melihat pergerakan pada hasil estimated quick count pendukung  karena salah satu supporter dari satu kubu melemparkan isu bahwa – sebut saja Presiden A adalah pemeluk agama B, dsb.. Hanya karena mendengar informasi ini, banyak yang berpindah kubu. Lebih mengejutkan lagi, hingga detik-detik sebelum masuk ke bilik pun banyak indikasi akan adanya swing voters. Apa artinya? Masih banyak rakyat Indonesia yang sangat sensitif terhadap hal-hal “details”. Dengan kata lain, masih ada saja orang yang mendahulukan emosi ketimbang kepentingan negara. Buat saya lucu sekali ini, kenapa rupanya jika Presiden A bukan orang Jawa,  apa ia tidak boleh dipilih? Terlepas dari fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah orang jawa (41%), lupakah kalian bahwa Indonesia ini bukan hanya terdiri dari suku Jawa?

Jadi bagaimanakah Indonesia kedepannya? Setiap hari saya perhatikan perkembangan politik, ekonomi dan sosial Indonesia dari media karena saya sedang menempuh studi di Luar Negeri. Terlepas dari masih adanya orang yang kurang “bijak” dalam mengelolah dan menjaga stabilitas perdamaian dan kebersamaan, mayoritas orang Indonesia sudah semakin banyak yang terbuka dan mampu berfikir dengan jernih. Ibarat, anak kecil yang tumbuh menjadi manusia dewasa. Perlu kita perhatikan bahwa, kedewasaan tidak diukur oleh umur tetapi oleh kebijaksanaan dan kemampuan memahami perubahan lingkungan dengan baik.

Buat masyarakat yang merasa kepercayaanya harus dijalankan, silakan anda jalankan kewajiban anda dengan baik. Biarlah setiap kepercayaan direfleksikan ke diri masing-masing. Tidak perlu berkoar-koar ke jalanan bak preman ataupun menggangu kenyamanan orang lain. Karena pada akhirnya, kepercayaan seperti agama itu bersifat bilateral, artinya antara diri anda dan sang pencipta.

Saya yakin betul bahwa setiap keyakinan maupun budaya yang kita percaya mengajarkan yang terbaik buat sesama. Tidak mungkin ada keyakinan yang mengarah pada kekerasan, jika memang ada.. artinya mereka hanya salah menafsirkan pesan-pesan tersebut. Coba kita sedikit berfikiri seperti filosofus, tanyakan pada diri kalian mengapa dunia diciptakan dengan penuh perbedaan? Seperti quote Desmond Tutu, tidakkah menakjubkan bahwa kita semua diciptakan menurut gambar Tuhan, namun ada begitu banyak perbedaan di antara umat-Nya?

Salam Indonesia!

Artikel ini hanyalah opini pribadi untuk tanah air tercinta. Jika ada pihak-pihak yang merasa artikel ini provokatif, artinya anda kurang bijak dan belum cukup “dewasa”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun