Presiden Jokowi yang akan dilantik pada bulan mendatang baru saja mengumumkan struktur kabinet pemerintahan beliau. Seperti periode sebelumnya, susunan kementerian terdiri dari 34 departemen; 3 kementerian yang bersifat nomenklatur, 17 kementerian yang mengurusi urusan pemerintahan, 11 kementerian yang menangani urusan pemerintahan yang bersifaat kordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah, dan 3 kementrian kordinasi yang bertugas melakukan sinkornisasi terhadap departemen-departemen yang ebrada diruang lingkupnya.
Dengan jumlah 34 kementerian, Jokowi-JK berencana memberikan 16 kursi kepada partai politik dan 18 kursi kepada professional. Departemen ESDM, Keuangan dan Pertanian adalah sekian dari beberapa departemen yang akan dipimpin oleh non-political figures. Tak hanya berhenti disini, tim transisi Jokowi-JK juga sedang menimbang kemungkinan untuk menhgapus jabatan wakil menteri diseluruh kementerian kecuali Departemen Luar Negeri.
Menariknya, langkah yang baru saja diambil Jokowi adalah kontradiksi dari apa yang beliau janjikan ketika berkampanye. Selama proses pemilu, pasangan yang diusung oleh PDIP ini berjanji akan merampingkan jumlah departemen dengan pertimbangan efisiensi dibagian anggaran dan kinerja. Tetapi mengapakah beliau justru tetap memilih untuk menerapkan struktur yang telah digunakan oleh presiden SBY selama 10 tahun kebelakang.
Semenjak berita ini dikeluarkan, sudah mulai banyak masyarakat yang mulai mempertanyakan alasan dibalik pengingkaran janji kampanye beliau. Seperti terlihat,investor confidence pun mulai tergoyahkan dan hal ini bisa terlihat dari melemahnya pasar modal. Disamping itu, para pendukung Jokowi juga sudah mulai mempertanyakan apakah pilihan ini merupakan suatu intervensi dari lingkup politik Jokowi.
Banyaknya spekulasi yang beredar seakan meragukan leadership Jokowi. Jujur saja, sejak awal pemilu kemampuan Jokowi dalam “melawan” masukan-masukan politik dari lingkungan poilitknya sudah diragukan. Beliau digambarkan sebagai sosok yang sangat loyal terhadap PDIP dan Megawati. Sehingga, wajar bila masyarakat mendapatkan kesan bahwa banyak langkah-langkah Jokowi harus terlebih dahulu mendapatkan restu dari Megawati.
Lebih lanjut, kabinet yang terdiri dari representatif parpol pendukung tidaklah hal yang abnormal. Justru, ini sebenarnya merupakan manuver politik yang sangat wajar. Hanya saja, masyarakat sudah lelah dengan sistem perpoitikan Indonesia yang sering berbagi-bagi kursi. Seharusnya, Jokowi sebagai simbol harpan rakyat berani untuk berdiri independen dan mengambil sikap yang bertentangan dengan suara partai. Mengapa demikian? Karena Jokowi telah dipilih rakyat dan membawa suara jutaan rakyat. Tanggung jawab beliau sudah tidak lagi kepada partai PDIP maupun segelintir orang. Beliau bertanggung jawab terhadap satu negara.
Alangkah lebih baik, jika kedepannya Jokowi dapat mencontoh sikap keberanian beberapa politikus di Indonesia seperti Ahok yang berani memasang badannya demi mencapai visi dan misi yang telah beliau tetapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H